Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Memasuki
perpustakaan daerah Kabupaten Soppeng untuk pertama kalinya: lebih terasa
seperti gedung perkantoran pemerintah daripada perpustakaan.
Perpustakaan ini terlalu
sempit untuk menampung berak-rak buku. Rak tidak sesak oleh buku namun berdiri
terlalu berhimpit-himpitan satu sama lain. Celah antar rak sangat kecil. Untungnya,
tubuh saya cukup ramping untuk bisa dipaksakan berada di antara rak. Mencari
dan memilih buku tentu tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Apalagi untuk
melihat buku pada baris paling bawah, saya harus jongkok, tapi kenyataannya
beberapa lokasi tidak memungkinkan saya untuk jongkok saking sempitnya.
Begitu memasuki
pintu seorang pegawai yang sedang duduk di meja resepsionis berdiri menyambut
namun hanya dengan tatapan, tanpa kata. Ia pun baru bicara setelah saya yang
memulai. Dengan terbata-bata – sepertinya ia bukan orang yang biasa atau sering
menyambut pengunjung perpustakaan – ia meminta saya menyimpan tas di lemari
yang cukup kecil untuk disebut sebagai rak penyimpanan. Ketika bertanya, ia
menjawab kurang tegas, ragu, sehingga saya harus mengklarifikasi kembali.
Setelah mengeluarkan
laptop, mengisi daftar pengunjung yang setidaknya sudah tidak konvensional lagi,
saya melangkah melewati jejeran rak buku menuju meja baca, menyimpan laptop.

Menemukan buku-buku
berdebu tentu hal yang lumrah. Lumrah bagi perpustakaan yang sering tak
dikunjungi, tak disentuh dan tak dijamah buku-bukunya. Termasuk di sini, buku
berdebu dan masih tersusun rapi. Yang berdebu bukan hanya buku, bahkan rak-rak
kayu pun demikian. Padahal sepertinya cukup banyak pegawai di sini. Tapi kita
tidak seharusnya menyalahkan mereka sepenuhnya, namun menyalahkan diri sendiri,
diri kita masing-masing, yang tidak melirik perpustakaan. Pun saya, hampir 26
tahun lahir dan besar di Soppeng, namun baru pertama kali ke sini.
Hari ini senin,
14 januari 2019, saya tiba sekitar jam 11 pagi. Mungkin karena ini perpustakaan
ramai.
Perpustakaan ini
ramai dan bising, namun bukan oleh pengunjung tapi oleh pegawai yang saling
bercakap. Suara mereka memenuhi ruangan yang sempit ini. Tepat di samping
kanan, tempat saya duduk saat ini ada empat staf yang membicarakan hal-hal
sederhana perihal kehidupan sehari-hari yang sepertinya sangat mengasyikan.[1]
Belum lagi pegawai-pegawai di pojok lain. Dalam hitungan jari saya ada lebih
dari 13 orang, sebagian besar perempuan, wajar jika cukup bising. Sebuah meja
di belakang saya – kami di antarai oleh beberapa rak – juga sepertinya sedang asyik dengan permainan
hp hingga suaranya sampai ke telinga saya.
Mungkin saya
salah memilih posisi duduk. Tapi Ah, tidak. Semua posisi duduk, di pojok
mana pun, sama saja. Tidak ada ruangan-ruangan khusus untuk pengunjung. Semua adalah
ruang “diskusi”. Jika saja saya di perpustakaan kampus University of Aberdeen
yang dulu, maka saya adalah seorang yang terjebak dalam ruang diskusi dan membutuhkan
ruang baca atau ruang diam.
Sangat disayangkan,
jumlah pegawai tidak sebanding dengan jumlah pengunjung. Hanya saya dan dua
orang lain duduk tepat di depan saya.[2]
Sama seperti saya, mereka juga menikmati saja mendengar suara-suara bising. Mereka tidak
bersuara kecuali suara keybord laptop yang sesekali terdengar.
Untuk memperoleh
ketenangan kita tidak harus berada di tempat yang sunyi, bukan? Kita bisa saja
tenang di tengah keramaian. Begitu pula ketika berada di sini, meski telinga
saya cukup sesak oleh sekelompok ibu-ibu tepat di samping kanan saya yang
berbicara cukup cepat dan keras tentang masakan spesial yang telah dan akan
mereka buat, saya masih bisa menenangkan pikiran. Malah kadang-kadang jadi
inspirasi. Ha!
Sayang sekali ini
tidak berlangsung seterusnya. Mungkin telinga saya lelah. Ketika suara mereka tidak
bisa lagi membantu melancarkan tangan saya untuk mengetik – atau mungkin memang
saya yang jenuh – saya hentikan catatan ini. Saya pasang headset ke telinga,[3]
lalu membaca kumpulan karya sastra terjemahan Rusia yang dialihbahasakan oleh
Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, M.A.
Ternyata beberapa cerpen dalam buku ini, salah satunya
Catatan Harian Orang Gila yang satu-satunya bisa saya selesaikan di sini,
adalah sumber inspirasi Budi Darma dalam menulis novel Olenka yang saya baca beberapa
waktu lalu.
Mungkin itu pula
yang mendorong saya secara tidak sadar memilih buku ini dari rak kesusastraan.
[1] Saya
menoleh ke kanan setelah menulis catatan ini (sebelum duhur), ternyata jumlah
mereka sekarang ada enam. Saya kembali menoleh ke kanan saat mengedit catatan
ini sebelum diposting (2.30pm), masih ada empat orang.
[2] Menjelang
jam 12 siang, kedua orang laki-laki dan perempuan itu meninggalkan
perpustakaan, membiarkan saya sendiri menikmati perpustakaan.
Setelah jam istirahat, dua pengunjung lain datang.
[3]
Bahkan ketika musik saya mainkan keras-keras suara mereka pun masih kedengaran.
Apalagi ketika seorang perempuan mengangkat telepon berbicara kepada seseorang.
Bagaimana pun tetap mengasyikan.
Komentar
My city library was quite small as well, but the environment was supportive for reading and studying. The women staff are not noisy at all, and they are surprisingly friendly. I spontaneously made a member card so I could borrow two interesting books that I found; The Adventures if Huckleberry Finn by Mark Twain and a theory book about 'Kajian Drama'. The latter was supposed to be the material for my teaching this semester. By the way, thanks for sharing your stories and keep me motivated to read and write! Cheers, Ahmad.
Good luck for your teaching class Tia