Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Finally, I got an empty seat—hopefully this appropriate place is
enjoyable— in the 7th floor of library setelah mencari tempat sepi
dari lantai 4, 5, 6 hingga di sini. Mengerjakan tugas kuliah tidak semudah dan
semenarik menulis atau bercerita di blog, that’s why I write this. Meskipun
ujung-ujungnya tugas juga tidak selesai-selesai.
Yesterday morning (18/2), Alhamdulillah, bangun lebih pagi sebagaimana yang direncanakan.
Bunyi alarm pertama (saya selalu memasang minimal tiga lapis alarm) berhasil
menyita perhatian, “menggetarkan hati” *eh, tidak lagi dimatikan lalu tidur
kembali seperti hari-hari lalu. Selama kita betul-betul meniatkan dengan baik,
insyaallah Dia akan menggerakan hati. (Memang, telah diajak/diingatkan untuk
berjamaah di masjid pas subuh oleh seorang teman ketika pulang dari perpustakaan jam
10an malam)
Bangun jam setengah 6, took a shower, segera memakai jaket, kaos
tangan, kupluk, serta syal, mengambil sepeda, mengayuh pedal dengan cepat di
tengah jalan yang masih lenggang, meski di pendakian demi mengejar waktu berjamaah.
I have been here more than 6 weeks
dan ini baru kali kedua shalat subuh di masjid. Buruk.
As usual, setiap minggu setelah shalat ada halaqah singkat: pengajian satu ayat
satu orang dan makan-makan (snack) sambil membahas kandungan ayat yang dibaca
ataupun hal lain. Ada yang bertanya tentang kandungan Ar-Rum ayat 30an, lalu
dibahaslah mengenai hukum operasi plastik dan operasi kalamin, and etc. intinya tentang bagaimana
batasan mengubah kodrat Allah atau apa yang diciptakannya, hingga merampat ke
pembahasan hukum mendonasikan organ tubuh jika mati—sepertinya ini memang
cukup common di sini, termasuk ketika saya mengisi formulir asuransi di salah
satu tempat praktik, ada pertanyaan “Do
you want to donate ur organ after died,” begitulah kurang lebih.
Saat ingin keluar masjid,
seseorang menahan saya dan teman. Ia mengajak untuk ikut kegiatan semacam jama’a
tabliqh—menginap di masjid luar Aberdeen Jumat malam hingga Minggu sore. Wah,
ini kesempatan untuk sekalian jalan-jalan, but
then I said, I’ll confirm later. Tidak boleh gegabah.
Meninggalkan masjid, saya tidak
langsung kembali ke flat, tapi menuju tempat yang tidak jelas, mencari jembatan
dan sungai hanya bermodal Google Map. Harapannya, tempat yang disinggahi nanti
bagus dan menarik untuk foto-foto.
Dalam perjalanan, tiba-tiba
rantai sepeda terlepas dari gigi roda, lalu terjepit. Alhasil, saya tidak bisa
memperbaikinya meskipun sudah dicungkir-balikkan, kaos tangan yang tadinya biru
kini berubah jadi hitam. I tried and
tried, tiba-tiba seseorang yang lagi
jogging berhenti di dekatku, “Do you need help?” Nessami bilangka “Yes.” He helped me to fix the chain, tapi ia
juga tidak bisa setelah mencoba beberapa kali.

Ha! “tempat sepeda”? tempat parkir
sepeda? Dalam hati saya ketawa sendiri karena menggunakan kata “bicycle place” untuk menanyakan bengkel.
Maklum, hanya itu kata yang langsung muncul dalam pikiran saya karena
betul-betul lupa bahasa Inggris dari bengkel. Later on saya cek di kamus elektronik, ternyata bahasa Inggrisnya
adalah repair shop/workshop/machine shop.
What the what! ternyata ini… kosa
kata yang sangat common didengarkan sehari-hari. How poor I was.
Kalau tidak salah, dalam
istilah linguistik ini disebut passive
vocabulary, yaitu kosa kata yang sebenarnya kita tahu artinya (ada di otak),
tapi mungkin karena jarang digunakan jadinya susah diutarakan, sekadar tinggal
di kepala (atau mungkin pindah ke dengkul),. Jadi sebenarnya bukan tidak tahu
sama sekali, hanya perlu di recall.
Ok, kembali ke cerita.
Meski bicara saya error, si bapak ternyata paham,
untungnya. Ia menjelaskan tempat yang bisa didatangi. Bla… bla… bla…. (tapi bukanya
jam 10an karena hari minggu). Well, saya paham penjelasannya—maaf,
bahasanya— tapi tidak mengingat nama jalan dan bengkel yang ia maksud, karena
memang saya susah mengingat nama. Saya OK OK saja di hadapannya. Dalam hati, nanti saya cari di Google. I realise I was foolish, seharusnya saya
langsung mengeluarkan hp, membuka aplikasi Map supaya ia tidak perlu
capek-capek menjelaskan. Ia kemudian melanjutkan “pelariannya.”
Saya rasa banyak dari kita
yang mengalami seperti ini jika beruntung bertemu dengan orang baik, maka suatu
masalah kadang tidak kita anggap sebagai masalah. Maksudnya, sejenak kita akan
melupakan masalah, tidak ambil pusing, karena merasa senang dengan kebaikan
orang lain. I didn’t even worry about my
broken bicycle, saya tidak begitu CEMAS because
what I thought was: how lucky I am, merasa beruntung masih ada orang sebaik
ini yang peduli. Sama sekali tidak ada perasaan kecewa apalagi kesal yang
muncul karena si bapak ternyata tidak berhasil memperbaiki. Yang ada perasaan
kagum dan thankful, ia rela “memotong” waktu joggingnya demi menawarkan
bantuan.
It was already 7 am….
*To be continued… alarm
untuk mengerjakan tugas telah berbunyi dari tadi.
Sir Duncan Rice Library, 20 February 2017
Komentar