Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
“Mungkin saja,
teman-temanku mencuri dan mengubahnya.” Keluh Aesop kepada gadis cilik yang ia temui
dalam mimpi.
Ia sedih bercampur kecewa serta sedikit jengkel karena kisah
Kelinci dan Kura-kura yang dibuatnya ternyata berbeda dengan kisah yang diceritakan
orang-orang. Bahkan banyak orang seolah-olah menganggap Aesop tidak ada. Ia
dilupakan sebagai pengarang cerita. Memang sering kali pengarang dilupakan
begitu saja, beberapa pembaca sekadar menikmati karya tanpa melihat siapa
pengarangnya.
Meskipun dilupakan, Aesop menimpali “mungkin lebih baik
menyamar. Menyamar berarti tidak ada orang yang tahu siapa kamu sebenarnya,” katanya
dalam kumpulan fabel yang disusun oleh Jane Olliver. Kenyataannya, Aesop adalah
seorang pengarang pada masa yunani kuno yang terkenal dengan fabelnya.
Tidak banyak diketahui tentang Aesop, namanya hanya
disebut malalui buku-buku kuno. Ia kurang dikenal namun memiliki banyak karya
yang bisa dinikmati hingga sekarang. Karya-karyanya yang ditulis kembali oleh
pengarang lain lebih dikenal dibandingkan Aesop sendiri. Mungkin itulah
kebahagiaan di mata Aesop.
![]() |
Sungai Mamasa, Temban, Enrekang. |
***
Menurut cerita ayah si gadis, semua burung dan binatang
lain bernyanyi untuk kegembiraan Kura-kura. Kura-kura bahagia sekali karena
telah mengalahkan Kelinci yang sombong dalam lomba lari. Si Kelinci pun merasa
malu serta mendapat celaan dari binatang lain.
Sedangkan menurut cerita Aesop sebagai pengarang
sebenarnya. Si Kura-kura sangat bahagia sekali karena telah menang lomba lari.
Teman-temannya memberikan ucapan selamat termasuk Kelinci yang menjadi lawannya
dalam pertandingan. Sebaliknya, Kelinci juga bahagia karena telah membuat
kura-kura bahagia. Ia dapat membagi kegembiraan kepada Kura-kura.
Kura-kura tidak tahu (sebagai pembaca tentu kita berharap
semoga ia tidak pernah tahu sampai kapan pun karena ia bisa saja bersedih) bahwa
ternyata Kelinci sengaja membuat dirinya kalah. Kelinci hanya berpuru-pura tidur
pulas di bawah pohon sehingga seolah-olah ia tidak sengaja berusaha kalah. Kelinci
yang baik hati berbohong karena mengutamakan kebahagiaan Kura-kura di atas
kebahagiaannya sendiri.
Dongeng yang diperankan oleh binatang selalu menggambarkan
watak manusia. Jadi wajar saja seorang anak manusia sering disamakan dengan binatang
karena perilakunya. Adakah binatang yang mewakili watak kita? Dan tentu fabel
bukan hanya bacaan bagi anak kecil karena orang dewasa pun perlu diingatkan
(kembali) tentang nilai kebaikan dan budi pekerti.
Jika merasa mulai sombong, maka kisah Kelinci dan Kura-kura
akan mengingatkanmu kembali bahwa “Kesombongan akhirnya tak berarti,” seperti
kata burung hantu pada cerita versi ayah si gadis. Membaca dongeng binatang tentu
tidak sama dengan menonton film kartun binatang.
***
“Apakah kamu memiliki sesuatu untuk menjamu tamu?” Sang istrinya
pun menjawab, “Tidak ada, hanya makanan yang cukup untuk anak-anak kita.”
Lalu sang suami meminta istrinya untuk mengajak anak-anak
mereka bermain supaya rasa lapar mereka teralihkan, hingga kemudian diajak
tidur. Tamu pun dijamu sedangkan mereka berpura-pura telah makan. Keluarga itu
tidur dalam keadaan menahan lapar.
Kisah seorang sahabat di zaman nabi Muhammad tersebut
mungkin terdengar berlebihan di telinga kita. Mereka mementingkan tamu dari
pada anak dan diri sendiri, tapi mungkin demikianlah kebahagiaan menurut
mereka. Yang entah masih atau tidak ada lagi manusia seperti itu di zaman ini.
***
Ketika
masih kanak-kanak, beberapa tetangga duduk di balai-balai di bawah rumah
panggung kami. Lalu ibu menyuguhkan teh panas dan biskuit yang baru ia beli di
pasar dan disimpan pada toples kecil. Di depan orang-orang saya bertanya,
kenapa ibu memberi biskuit yang utuh dan baik ke mereka, sedangkan untuk saya -
anaknya hanya diberi potongan-potongan yang tersisa pada bungkusan biskuit.
Mereka menertawakan saya yang belum fasih bicara sedangkan ibu hanya tersenyum,
senyum bahagia. Sekarang saya faham betapa ibu sebagaimana ibu lain pandai menciptakan
kebahagiaan.
Ibu,
sahabat Muhammad, Aesop, dan Kelinci menciptakan dan membagi kebahagiaan seperti
yang dikatakan Jon
Krakauer dalam bukunya Into the Wild yang
juga telah diadopsi dalam bentuk film, “Happiness
[is] only real when shared.” Kebahagiaan hakiki adalah ketika kebahagiaan
itu dibagikan. Setiap
orang punya jalan sendiri untuk
merayakan kebahagiaan.
![]() |
Bukit Teletabies, Temban Enrekang |
Merayakan
kebahagiaan itu penting tapi tak perlu menunggu hari kebahagiaaan internasional
yang telah ditetapkan PBB untuk merayakannya. Saya sedang berbahagia hari ini.
.......dan cahaya berenang
mempermainkan warna
Tuhan, kenapa kita bisa
berbahagia?
(Goenawan
Mohamad)
*Dimuat di kolom Literasi Tempo Makassar, edisi 19 September 2015, setelah diedit oleh redaktur. :)
Komentar