Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Fitrawan Umar mengangkat topik perempuan dalam judul
bukunya Yang Sulit Dimengerti Adalah
Perempuan. Sebuah novel terbitan Exchange yang berkisah tentang dua teman
kecil: Renja dan Adel yang bertemu kembali ketika di bangku perkuliahan. Saat
itulah konflik asmara terjadi antara mereka, Renja mencintai Adel tapi Renja
sulit mengerti apakah Adel juga mencintainya atau tidak. Adel adalah perempuan
yang sulit dimengerti.
Perasaan Renja terus tumbuh meski diiringi keraguan, “Sepertinya
memang begini ketika kita menyukai seseorang. Kita merasa yakin bahwa seseorang
itu punya rasa suka yang sama. Namun, hati kecil juga berbisik untuk
meragukannya,” ungkap Renja.
Memang perempuan sulit dimengerti, bahkan Sigmund Freud pun
mengakuinya, “The great question that has
never been answered and which I have not yet been able to answer, despite my 30
years of research into the feminine soul, is: ‘What does a woman want?’” 30
tahun Freud mencari tahu tentang perempuan namun ia masih juga tidak menemukan jawaban
apa yang perempuan inginkan.
Adel, juga perempuan pada umumnya, toh tidak bisa
disalahkan sepenuhnya karena bisa jadi bukan mereka yang sulit dimengerti, tapi
sebaliknya yang sulit mengerti mereka adalah lelaki. Seperti kata Marlon James dalam bukunya The book of Night Women, “That it’s not a secret at
all; men just don’t know how to listen.”
Penulis cerdas dalam menempatkan tokoh. Adel sebagai
tokoh utama perempuan yang sulit dimengerti yang menjadi sumber konflik dari
cerita dan Renja yang sedikit inconsistent
namun unik. Seorang antagonis yang cengeng. Ia pernah mengecam tindakan kasar senior,
namun ketika telah menjadi senior ia justru melakukan hal-hal senonoh terhadap
juniornya. Ia adalah sosok mahasiswa teknik yang keras namun sebenarnya cengeng
jika menyangkut perempuan seperti pada akhir cerita ia ungkapkan, “Merinduinya,
aku menangis sesenggukan.”
Tokoh Naufal, mahasiswa kedokteran gigi yang senang
membaca membuat novel tersebut penuh kebijaksanaan. Ia begitu puitis dan
bijaksana, seperti nasihatnya kepada Renja, “Kau hanya bisa melakukan hal-hal
yang sanggup membuatmu bahagia, yang menutup kesedihan dari pikiranmu. Atau
kalau kau tidak menemukan kebahagiaan lain, setidaknya jangan pusingkan dirimu
dengan mencari obat kesedihan.” Sedangkan Rustang membuat karya tersebut lebih humoris.
Banyaknya hal yang ingin disampaikan penulis tentu tidak
dapat tercapai jika hanya melalui tokoh aku-Renja dan Adel, namun dengan menghadirkan
tokoh Nauval dan Rustang, penulis mampu menjadikan novel ini terasa lebih hidup.
Bukan
Sekadar Cerita Cinta
Membaca Yang Sulit
Dimengerti Adalah Perempuan seperti menggigit roti hamburger berisi daging,
selembar keju, daun selada, saus tomat dan bumbu lainnya. Kisah cinta Renja dan
Adel adalah roti yang mengapit beragam hal menarik di dalamnya.
Terlepas dari kisah Renja dan Adel, novel tersebut mengungkit dua isu sosial. Pertama
mengenai isu kampus; bentrok antar Teknik dan Sospol, kasus pengaderan
mahasiswa baru fakultas teknik Unhas dan gejolak demonstrasi mahasiswa Makassar
menolak BHP pada sistem pendidikan tinggi dan menyikapi kasus Century di tahun
2009.
Kedua, mengungkit sejarah masa lalu yang mungkin telah
dilupakan namun masih menyisahkan luka bagi orang-orang yang terlibat, Kospin.
Sebuah investasi bodong yang telah banyak menjerat masyarakat terutama di
Pinrang dan sekitarnya sekitar tahun 1997-1998.
Cara penulis mengungkapakan dua hal tersebut patut
diacungi jempol. Bukan hal mudah membuat benang merah antara peristiwa sejarah
sosial dengan cerita fiksi cinta Renja dan Adel. Namun Fitrawan Umar mampu
menulisnya secara apik dengan menciptakan karakter Adel sebagai anak dari
mantan bos Kospin di Pinrang yang merasa bersalah terhadap korban-korban Kospin
ayahnya.
Novel ini mengingatkan pembaca bahwa kasus Kospin masih
meninggalkan luka. Diceritakan bahwa Renja dan Adel menemui seorang lelaki
korban kospin yang menderita gangguan jiwa dan sering menyendiri dalam keterpurukan
di pinggir pantai Ujung Lero, perbatasan Pinrang dan Parepare.
“Keberadaan karya sastra menjadikan ia dapat diposisikan
sebagai dokumen sosial budaya,” kata Iswanto. Dan dalam hemat saya, novel Yang Sulit Dimengerti Adalah Perempuan
berhasil mendokumentasikan kasus Kospin tahun 1998 dan nasib korbannya hingga
sekarang, dan gejolak mahasiswa Makassar dan fakultas Teknik di tahun 2009.
Peristiwa tersebut tidak dapat dipisahkan dari pengalaman
penulis sebagai alumni fakultas teknik Universitas Hasanuddin dan pria
kelahiran Pinrang.
Memang, meskipun bersifat fiksi, karya sastra tetap tidak bisa
dilepaskan dari kehidupan pengarang dan latar belakang sosial dan sejarah
tertentu.
*Dimuat pada kolom Apresiasi budaya Fajar, Minggu 3 Januari 2015
Komentar