Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Belakangan ini saya
senang mencari-cari kenangan, menertawai foto-foto maba pada buku angkatan,
juga membuka kembali kertas-kertas fotokopian yang tertumpuk semasa kuliah. Kudapati
beberapa karya sastra klasik- karya yang seharusnya dibaca semasa kuliah sebagai
tuntutan beberapa mata kuliah telaah sastra
Beberapa rangkap
sebenarnya saya pinjam dari teman berbeda kelas. Karena setiap dosen memberikan
karya yang berbeda-beda. Meminjam dengan alasan untuk dibaca waktu itu, dan
segera dikembalikan jika selesai. Alhasil saya baru membacanya setelah wisuda,
ketika galau dan gelisah mulai merangkak. *eh.
Tiga bulan bukan waktu
yang sebentar dan mudah dilewati hingga sekarang- terhitung sejak 24 juni 2015.
Dan banyak-banyak membaca adalah cara terbaik untuk menunjukkan ke teman-teman
bahwa saya sebenarnya tidak sedang dan tidak pernah “kosong.” Sayangnya, membaca
tidak berjalan bersama dengan kegiatan menulis, blog pun tidak pernah diisi.
Baiklah. Setelah lebih
seminggu lalu membaca The Devil and Tom
Walker kemudian hasilnya saya share di line untuk menjaga ingatan (waktu
itu saya masih malas membuka blog), beberapa jam lalu akhirnya saya
menyelesaikan Antigone. It is a classical Greek tragedy drama. Karya Sophocles, seorang penulis
Yunani Kuno sekitar 400 tahun sebelum masehi. Antigone saya pinjam dari teman
angkatan yang tidak saya ingat lagi siapa pemiliknya.
![]() |
prepwise.com |
Antigone drama ketiga dari trilogi Sophocles. Pertama adalah Oidipus Sang
Raja, Oidipus di Kolunus, dan terakhir Antigone. Alhasil saya hanya memiliki
buku ketiga. Dan juga bukan karya bahasa
asli, namun terjemahan yang dialihbahasakan oleh Rendra. Diterbitkan oleh Dunia
Pustaka Jaya, pertama kali pada tahun 1976 dengan tebal 57 halaman.
Pelaku:
ü Antigone
ü Ismene, saudari Antigone
ü Creon, raja Thebes
ü Euridice, istri Creon
ü Haemon, putra Creon
ü Teiresias
ü Kapitan, pengawal
ü Chorus/ paduan suara
ü Pembawa pesan I
ü Pembawa pesan II
“Jenazah Eteocles ia makamkan dengan
penghormatan lengkap. Dengan upaca gemilang ia antarkan sukmanya ke neraka. Tetapi
untuk jenazah Polyneices yang malang. Ia kenakan larangan untuk menguburnya. Harus
dibiarkan terkapar tanpa diratapi, tanpa pemakaman, menjadi mangsa
burung-burung padang belantara.”
Antigone, putri Oidipus yang pernah berkuasa di Thebes melakukan perlawanan
terhadap Creon, raja Thebes. Ia melanggar perintah Creon yang melarang
siapapun dari rakyatnya untuk menguburkan jenazah Polyneices yang dianggap
telah melawan kerajaan. Antigone melakukan hal tersebut karena menganggap saudaranya,
Polyneices harus dikembalikan dengan tentram dan damai seperti pula jenazah
Eteocles yang juga merupakan saudara Antigone.
Antigone telah dilarang oleh Ismene namun ia tetap bersikukuh untuk melakukan
upacara untuk kematian kedua saudaranya. Tindakan Antigone diketahui oleh kapitan
hingga ia dibawa menghadap ke tahta Creon.
“Nanti dulu. Ini undang-undang siapa? Manusia atau Dewata? Bukankah upacara
pemakaman adalah upacara agama dan dengan begitu masuk undang-undang Dewata?
Aku tidak menganggap bahwa undang-undang raja lebih tinggi dari undang-undang surga.”
Antigone bagaikan karang, teguh bagaikan bapaknya.
Antigone dibawa ke padang belantara dan dikubur hidup-hidup dalam gua.
Haemon, calon istri Antigon yang juga putra Creon melawan bapaknya atas
tindakan yang diambil. “Sebab Paduka bersalah menurut pendapatku,” katanya di
hadapan bapaknya. Namun tetap saja, keputusan raja tidak dapat diintervensi.
Terisias, seorang penujum terpercaya Creon mendatangi istana. Ia menyampaikan
ramalan kejadian yang akan menimpa keluarga Creon karena tindakan Creon
sendiri. jika tidak segera menguburkan mayat Polyneices dengan melaksanakan
upacara sebagaimana mestinya dan mengeluarkan Antigone yang dikubur hidup-hidup
maka Dewata akan murka, kematian akan menimpa keluarganya. Nyawa dibayar nyawa.
“Berkeras kepala sama saja dengan tanpa kepala.”
Hingga ia luluh karena takut kutukan dewa. Ia segera menggali gua tempat
mengubur Antigone. Namun Antigone telah menggantung diri dan Haemon rubuh di
tubuh kekasihnya setelah menikamkan pedang ke dadanya sendiri.
Creon dan pasukan kembali ke istana dengan kesedihan. Di istana pun ia
disambut dengan kabar istrinya yang menikam diri di depan altar. Sungguh
tragis.
*Mari menjaga
ingatan.
Komentar