Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Review film “Ada Surga di Rumahmu”
![]() |
*Maaf hanya foto laki-laki |
Dua momen yang membahagikan hari tadi - di akhir bulan Maret. Pertama, FLP melalui Kak Wawan dapat
undangan nonton alias tiket gratis XXI Penakukang “Ada Surga di Rumahmu” yang
baru akan ditayangkan secara serentak tanggal 2 April besok. Beruntunglah
Makassar dan Palembang dua kota terpilih sebagai tempat launching dan promosi film
tersebut. Kedua, setelah nonton ditraktir makan sama Kak Nursam yang juga
senior FLP. Seandainya, seandainya, seandainya dalam sebulan selalu ada hari
seperti hari ini- sekali seminggu juga tidak apa-apa.
![]() |
Hore... ditraktir :) |
Dari judulnya,
sudah bisa langsung ditebak kalau film ini bertema religi, islam tepatnya. Bisa
ditonton untuk semua umur. Tapi menurut saya sangat recommended ditonton oleh kaum muda: mahasiswa, anak SMA-SMP, dan
siapa saja yang merasa dirinya masih berjiwa muda (Hahaha… lebay) Bahkan bukan
saja untuk yang muslim karena film ini memberikan nasihat moral tentang kasih sayang terhadap kedua orang tua.
Terinspirasi dari
novel bestseller “Ada Surga di Rumahmu” karya Ustad Ahmad Alhabsyi tentang
kisah hidupnya, kemudian ditulis kembali dalam bentuk naskah film oleh Oka Aurora.
Dan akhirnya diproduksi dengan kerjasama Mizan, Smaradhana pro, dan Nava dengan
dukungan dari PGM, energy for life.
Mengambil latar di
sekitar Sungai Musi Palembang, film ini mengisahkan kehidupan seorang anak,
Ramadhan dengan orang tuanya. Ia dikirim ke sebuah pesantren yang dipimpin oleh
pamannya sendiri dan hingga dewasa ia tetap tinggal mengajar di pesantren.
Belajar di pesantren membuatnya memahami bahwa memuliakan orang tua adalah pintu
keberkahan menuju surga-Nya, “Surga itu begitu dekat. Tapi, mengapa kita masih
sibuk mengejar yang jauh.” Surga ada di rumah kita, ibu dan bapak.
Ramadhan, dipanggil
Mad - seperti nama panggilan saya oleh beberapa teman (Hahaha… penting ya?)
diperankan oleh Husein Alatas. Menurut saya, wajahnya yang sendu membuatnya sangat sesuai dengan perannya sebagai protagonis, anak pesantren yang sayang
terhadap ibunya. Hal yang paling penting sehingga membuat film ini orisinil
adalah adzan, mengaji dan ceramah diambil dari suara Husein sendiri (kalau
tidak salah menyimak), Tidak seperti beberapa film lain yang biasanya bersuara
merdu tapi ternyata diambil dari rekaman orang lain.
Saya juga suka dengan
karakter Nayla (Nina Septiani). Jika dikatakan oleh Batara siang tadi bahwa
film ini kurang konsisten karena Nayla yang sewaktu kecil tidak mau disentuh
oleh Ramadhan karena menganggap bukan mahram, namun kemudian ketika dewasa ia
mau saja dibonceng oleh Ramadhan. Saya justru menganggap bahwa hal itu justru menunjukkan
bahwa seperti itulah kondisi beberapa perempuan masa kini. Mengatakan, “Maaf
bukan muhrim,” namun tetap saja ada saat dimana ia bisa tergoda atau terpaksa untuk mematahkan kata-katanya sendiri.
Jilbab bukan lagi sesuatu untuk menilai bahwa seseorang perempuan akan selalu
menjaga sikapnya. Seperti Nayla, perempuan tidak akan mau memulai tapi hanya
bisa dan akan selalu berusaha memberi kode kepada laki-laki.
Buku, jika diadopsi
ke dalam film kemungkinan besar akan ada beberapa bagian yang dipotong, diubah
atau dihilangkan. Saya belum membaca buku “Ada Surga di Rumahmu” tapi saya
sangat yakin banyak ada hal yang dipotong dan diubah sehingga membuat alur ceritanya melompat dan terkesan kurang logis. Saya merasa sedikit dipaksakan dan kurang logis pada
bagian Ramadhan tiba-tiba saja diminta untuk mengisi peran figuran oleh salah
seorang kru (bukan sutradara) yang sedang mengadakan suting film di pesantren
tempat Ramadhan mengajar. Ditambah lagi diminta ke Jakarta untuk mengikuti casting film laga.
Bagaimanapun, film
ini berhasil menggugah hati. Saya cukup terharu (menangis atau tidaknya itu rahasia)
dengan kisah kasih sayang antar orang tua dan anak yang digambarkan dengan
tajam dalam film. Kalau sudah membahas keluarga, apa lagi tentang ibu, siapa sih yang bisa tahan untuk tidak ikut
sedih dan larut dalam cerita. Ikatan antara Ramadhan dan Ibunya (Elma Theana)
tidak terkesan dibuat-buat. Apalagi ketika ia mencium tangannya dengan
khidmatnya.
Sutradara juga
berhasil memasukkan dan menempatkan humor dengan baik. Misalnya melalui pemeran-pemeran
pembantu seperti sahabat Ramadhan - Si
gendut (saya lupa namanya) yang suka makan dan sering disalahkan dan penggambaran
kondisi sosial Palembang yang apa adanya. Begitupun dengan kisah asmara yang digambarkan
dengan sederhana, meski masih menjadi teka-teki
karena penonton
hanya bisa mengira-ngira apa yang akan terjadi setelahnya karena film berakhir
tanpa ada kepastian Ramadhan menikah dengan Nayla atau dengan Kirana (Zeezee
Shahab) atau perempuan lain.
Soundtrack tidak
ketinggalan, ia membuat film ini terasa lebih hidup. Musik religious yang
dimasukkan sesuai saman, berupa kontemporer sehingga saya sebagai penonton dan
pendengar yang masih anak muda lebih mudah paham dan merasuk langsung kena ke
hati. Lagunya bagus diputar ketika lagi galau dan ingin merenung sendiri.
Terakhir, kisah
Ustad Alhabsyi ini menjadi teladan bagi saya pribadi. “Seorang ibu rela mati
demi 10 orang anaknya, tapi seorang anak belum tentu mau berkorban demi ibunya,”
betapa besarnya kasih sayang seorang ibu. Banyak pelajaran moral ditunjukkan
kepada penonton tentang bagaimana seharusnya anak terhadap orang tua dan
sebaliknya. Nasihat untuk selalu mendoakan, membahagiakan, menyayangi ibu
bapak.
Semoga kita makin cinta
dengan surga-Nya karena surga terdekat adalah rumah kita, kedua orang tua kita.
Rasa rasanya saya masih ingin menonton kembali film ini. Jika ada tiket gratis lagi. Hahaha…
Komentar