Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Cabbenge, Sulawesi Selatan: Pukul 14:10 - Suhu 31oC – 24 Januari 2014
(Diambil saat KKN di Sikucur) |
Menjelang siang hingga sore
hari, saya tidak betah berlama-lama di dalam rumah. Panas matahari menembus
atap seng rumah panggung hingga terasa membakar kulit. Meski terdapat plafon,
rasanya tak jauh beda. Dan jika kipas angin dinyalakan justru akan tercipta
hembusan angin kering membuat semakin panas. Kolong rumah panggung pun menjadi
alternatif sebagai tempat istirahat di siang hari- hal yang lumrah di kehidupan
masyarakat bugis.
Kondisi yang jauh berbeda
dengan Makassar, orang-orang justru mengeluhkan hujan di januari. Sedangkan di
Soppeng dan beberapa daerah lain di sekitarnya, hujan turun hanya sesekali,
gerimis pula. Para petani menengadahkan tangan, mengharap banyak segera
turunnya hujan. Prediksi cuaca oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sering kali
meleset. Hujan memang susah ditebak.
Siang itu, di atas balai-balai
saya berbaring dan berusaha tidur - hanya sendiri. Gaduh kendaraan yang
lalu-lalang sedikit mengusik. Siswa smp dan sma baru saja pulang, mengendarai
motor secara beriringan dan berkelompok, laki-laki maupun perempuan. Roda motor
bergerak pelan, sambil bercerita satu sama lain. Sesekali mobil di belakang
mereka membunyikan klakson bertubi-tubi, merasa jalan mereka dihalangi. Saya
kembali melanjutkan usaha untuk tidur.
Saya memaksa diri sendiri
seperti bayi yang dipaksa tidur siang oleh ibunya. Adik sepupu saya yang
laki-laki dan masih kelas satu smp tiba-tiba datang. Hanya meletekan tas,
melepas kemeja putihnya dan tanpa mengganti celana, lalu langsung menemui saya. Ia merengek ingin
meminjam hp, katanya mau dengar lagu Peterpen yang juga pernah ia putar
kemarin. Karena malas mendengar
bujukannya tiada henti, akhirnya saya pinjamkan.
Ia mengambil tempat lain
memutar lagu.
Saya bangkit dari pembaringan,
tidak tahu harus melakukan apa, hingga kutemui sepupu saya yang berbaring di
tempat lain. Dan kudapati ternyata tidak sekadar mendengar musik, tapi juga
menggoreskan dua buah batu secara bergantian pada layar hp.
Betapa kaget dan saltingnya ia ketika kutegur. Lalu
kutanyakan apa yang dikerjakannya. Katanya mengecek keaslian batu akik yang ia
punya. What ? anak sekecil ini... Memang menurut bapak-bapak pecinta batu
akik/permata, batu bisa dikatakan asli jika bisa menggerakkan touchscreen android.
![]() |
( Foto profil BBM sepupu) |
Memang ia memiliki beberapa
koleksi batu akik. Beberapa didapatkan dari bapaknya sendiri dan dari
teman-temannya. Dan hari itu ia membawa satu batu lagi dari sekolah, batu
permata warna hitam kecoklatan yang ditawarkan oleh teman sekelasnya seharga
Rp. 15.000. Batu itu belum dibayar, ia ingin memperlihatkan ke bapaknya dulu
kalau-kalau ia tertarik.
Saya sedikit jengkel dibuatnya,
lalu sedikit memarahinya. Ia pun segera pergi entah dengan perasaaan bersalah
atau tidak.
Matahari bergerak
makin ke barat seiring panas juga makin menyusut. Saya sedang mencari-cari channel tv yang tepat untuk dinonton.
Belum ditemukan siaran yang tepat, sebuah suara terdengar dari bawah- Om saya,
ayah dari sepupu tadi. Saya segera turun. Ternyata ia membawa beberapa batu
akik di tangannya, dan mau meminjam hp. Sepertinya,
sepupu saya telah menceritakan yang dilakukannya dan menyuruh ayahnya untuk mengetes
batu-batunya juga.
Terasa sangat berat
saya menelan ludah. Kusodorkan hp, lalu mengikutinya dari belakang menuju
balai-balai, lalu menyaksikannya menggoreskan satu persatu batu ke layar hp.
Untungnya sudah dilapisi anti gores jadi saya tidak perlu cemas dengan
garis-garis yang ditimbulkan, layarnya juga sudah gorilla glass, biarkan saja.
Ya, saya tidak
begitu memikirkan hp saya. Hanya berpikir, sebegini
besarkah demam orang-orang pada batu akik atau permata. Seperti halnya Kakak
laki-laki saya yang kedua, seringkali menghabiskan berjam-jam waktu hanya untuk
mengasah bongkahan batu, lalu memperhalusnya lagi dengan daun pisang kering dan pada bambu.
![]() |
(Batu-batu akik yg diperoleh setelah kami pulang kampung. hahaha...) |
Ketika saya ke
tetangga, hal yang paling lazim dibicarakan adalah batu, batu dan batu, sambil
mereka (bapak-bapak bahkan anak kecil) memperlihatkan kehebatan batu-batu
mereka.
Dari yang saya
perhatikan, batu akik akan dianggap bagus
dan hebat
jika: memiliki warna bagus, mencolok atau hitam; tembus cahaya jika disenter; diperoleh
dari tempat yang jauh; dan tentu dapat menggerakkan layar android. Meski
belakangan saya tahu dari teman saya yang juga pecinta batu bahwa bergerak atau tidaknya layar bukan hanya tergantung dari batunya, tapi juga dari android.
Siang itu, saya
bertemu dengannya di perputakaan fakultas lalu menceritakan tentang kejadian di
atas. Lalu ia segera mengeluarkan cincin dan tabnya dan jadilah kami seperti
bapak-bapak yang lagi memperdebatkan batu akik. Cincin yang ia punya ternyata bisa
menggerakkan layar tabnya tapi tidak bisa menggerakkan layar androidku. Ia juga
bercerita banyak tentang batu akik bahkan menunjukkan kehebatan batu akiknya.
Maklum, ia penggemar batu akik.
Satu lagi hal aneh.
Pernah satu ketika, kakak saya berteriak-teriak malam-malam ketika kami sudah hamper
terlelap. Menghimbau kami untuk tidak membuang batu akik yang ia simpan dalam
freezer kulkas. Katanya batu itu harus dibekukan. Saya bingung, memangnya itu batu akik terbuat dari salju
yang diambil dari gunung Everest!
Entah, kapan demam
batu akik ini akan berkhir. Saya yakin ia hanya seperti Layang-layang pada
musimnya, akan berakhir jika “musim angin” berakhir.
*Kemarin, ketika
saya ingin memberikan surat tugas kepada salah satu dosen pembimbing skripsi,
ia menolaknya dan menyuruhku membawanya dilain hari bersama dengan proposal
yang berisi bab 1-3. Saya berjalan keluar ruangan dengan kecewa dan terdengar
suara dosen lain yang juga di ruangan itu, “Bawa surat dan proposal itu dengan
batu akik.” Ia tertawa.
Komentar