Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Kemarau
pasti berlalu layaknya nasib tulisan-tulisan kita yang belum usai
(Gazali pd TOWR FLP Bantimurung) |
Kali ini kucoba keluar kamar, menuju
teras belakang. Sempit oleh barang-barang tidak terpakai dan sampah
dimana-mana. Pembungkus makanan yang dibuang begitu saja oleh tetangga kamarku,
maupun daun-daun lebar ketapang yang telah kering. Setidaknya tempat ini tidak
begitu bau. Kamar saya di lantai dua asrama tidak terusik oleh orang-orang yang
lalu lalang.
Angin musim kemarau berembus kencang,
sejuk namun terasa kering menerpa wajah. Tampak danau yang juga makin
mengering, padahal beberapa bulan lalu sempat meluap. Beberapa pohon mangga di
tepiannya buahnya sudah hampir habis padahal baru saja mengkal. Kami sama-sama
bersabar mengharap kemarau segera berakhir. Kemarau di bumi, juga kemarau di
kantong para penghuni asrama.
Segera
keluar dan menulis. Ada banyak hal di depan mata kita.
Ya, sejak beberapa bulan terakhir saya
dihantui oleh beberapa tulisan yang meminta untuk segera dikerjakan dan
diselesaikan. Mereka terlalu lama tersimpan memenuhi folder-folder penyimpanan
laptop, juga pikiran. Beberapa kali saya mencoba memaksakan untuk menulis dan
hasilnya adalah berupa coretan-coretan yang justru tidak berkaitan dengan yang
semestinya. Mungkin itulah beberapa waktu terakhir ini, blog saya mulai ramai
dengan postingan-postingan yang tidak saling berkaitan satu sama lain,
kebanyakan hanya berisi hal-hal yang sedang bergejolak di pikiran.
(Rusunawa, Diambil dr belakang ramsis) |
Hal lain ketika saya tetap memaksa
melanjutkan atau mengedit tulisan sebelumnya adalah sebuah spasi, paragraf atau
lembaran kosong setelah hampir sejam berada di depan laptop. Atau paling parah
adalah air liur yang meleleh di sudut bibir setelah tertidur di atas meja.
Baik, hal pertama adalah tulisan ESAI
LITERASI “Seorang Penyair” dan CERPEN “Sepasang Sepatu.” Dua naskah tersebut
kutulis sudah hampir dua bulan lalu. (*Maaf, bukan naskah tapi tulisan. Naskah
adalah karangan yang masih ditulis tangan, sedangkan saya menulis lewat
laptop). Rencananya akan dikirim ke media. Berbagai referensi coba kukumpulkan
dari berbagai situs, tapi entah mengapa pikiran masih sulit untuk
menghubungkannya dalam tulisan.
Kedua, PROPOSAL SKRIPSI. Yang satu ini
menggerogoti pikiranku bahkan sejak semester lalu. Ketika saya mengambil mata
kuliah Seminar Praskripsi Sastra (SPS) (part
1), rencananya mau menganalisis drama Oscar Wilde “The Importance of Being
Earnest.” proposalnya sudah fix, tapi
ditolak dengan alasan terlambat mengumpulkan tugas pada dosen bersangkutan.
Jadilah, nilai E pertama di transkrip.
Semester ini saya terpaksa harus
mengambil mata kuliah SPS lagi (Part 2).
Jika mau yang simple, saya bisa saja memasukkan proposal itu kembali. Namun
kemudian saya berubah pikiran karena ternyata, check per check telah banyak mahasiswa sebelumnya yang mengkaji drama
tersebut. Meskipun kajiannya beda, tapi tentu saya tidak mau dikatakan sebagai
mahasiswa yang menambah “dosa” (seperti yang dikatakan salah seorang dosen).
Setelah bertapa di Gua Hira selama tiga
tahun, akhirnya saya memutuskan untuk menganalisis drama George Bernard Shaw
“Pygmalion”. Karya yang menurutku cukup menarik dan alasan utama karena baru
satu orang yang mengakajinya. Skripsi oleh Armin Hari pada tahun 2002. Ia
mengkaji aspek romance and myth drama
tersebut. Saya sangat suka dengan tulisannya apalagi ketika dikaitkan dengan
kisah Galatea pada mitologi yunani dan kisah Pinokio.
Bahkan, saya mencoba mencari akun fb Armin Hari dan mengiriminya
permintaan pertemanan setelah sebelumnya mengirimkan pesan yang berisi
ketertarikan saya pada tulisan beliau. Permintaan di approve tapi belum ada balasan pesan. Sebenarnya saya berharap,
bisa sharing dengan beliau tentang
skripsinya atau bahkan diberi rekomendasi judul skripsi (*ngarep).
Maklum saja, saking lamanya bertapa hingga
saya belum juga mulai mengerjakan proposal padahal perkuliahan segera memasuki
pertemuan ke 11. Alasannya karena saya belum “serius.” Bahkan teks dramanya
belum selesai saya baca, masih sisa enam lembar. Juga ketika ke perpus saya
lebih senang membaca hal lain dari pada memandangi deretan skripsi yang
menyesakkan mata.
(Musdalifa pd TOWR FLP, Malino) |
Jujur, saya selalu berdoa agar dijauhkan
dari sifat malas supaya bisa segera mengerjakan proposal. Tapi sepertinya saya
tidak begitu malas, hanya saja masih susah fokus. Padahal teman-teman di kampus
maupun di asrama selalu memberi semangat. Saya juga terlalu suka sering
bercerita seperti pada tulisan ini dari pada mengerjakan proposal.
Begitu cepat matahari bergeser ke barat padahal
ia baru saja di atas kepala. Demikianlah waktu yang akan membuai kita (diriku)
jika tidak segera bergerak menyerjakan PROPOSAL SKRIPSI.
Saya segera mengakhiri tulisan meski
sebenarnya saya belum puas bercerita. Dan
seorang cleaning service perempuan memanjat pohon mangga tepat dibelakang
kamar-ku. Dua temannya yang juga perempuan menunggu di bawah. “Janganko sebut
namaku nah! Jatuhka nanti,” kata si pemanjat. Saya tersenyum. Seperti inikah emansispasi
wanita yang selalu digembar-gemborkan.
Ramsis
Unhas, 8 November 2014, menunggu hujan di sore hari.
Komentar