Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
(Niat menentukan jalan kita) |
Niat adalah pekerjaan hati. Tidak ada satu pun manusia
yang tahu isi hati manusia lainnya, kecuali jika ia menceritakannya. Jika ia
bercerita, pun belum tentu sesuai dengan hatinya. Orang yang katanya mampu
membaca maksud hati seseorang, saya yakin ia hanya menerka-nerka.
Dalam masyarakat bugis, kita sering mendengar nasehat orang
tua, keluarga, atau siapa pun yang menaruh perhatian dan kasih sayang kepada
kita, “padecengi akkattamu” (perbaiki niatmu). Sepotong kalimat yang sering
diucapkan ketika ada orang yang ingin melekukan pekerjaan atau bepergian.
Pemuda bugis yang berniat merantau untuk mencari nafkah,
mengumpulkan uang untuk modal nikah dan uang panai misalnya maka ia akan diwanti-wanti
oleh keluarganya untuk meluruskan dan memantapkan niat. Karena niatlah yang
akan mengantarnya pada tindakan-tindakan dan perilaku di kampung orang di
kemudian hari.
Dua orang pemuda yang bersama-sama merantau, berusaha
bersama dan mendapatkan pekerjaan sama bisa saja mendapatkan hasil yang berbeda
karena niat awal berbeda. Yang satu merantau karena betul-betul ikhlas ingin mencari
ilmu dan mengumpulkan uang sedangkan satu lagi menyimpan niat lain dalam
hatinya, mendapatkan kesenangan hidup yang tidak didapat di kampung halamannya.
Niat menjadi salah satu faktor utama dari sekian penyebab lainnya.
Teringat potongan sebuah hadist, “Semua amal perbuatan
tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan.
Barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia
nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.”
Demikian pula kita (saya) sebagai mahasiswa rantau, perlu
merefleksi kembali dan meluruskan niat merantau dan masuk perguruan tinggi.
Sudahkah didapatkan atau belum atau justru niat itu telah buram dalam ingatan
dan dilupakan begitu saja karena ternyata ada hal yang lebih menarik di dalam
prosesnya?
Yang namanya niat berarti harus berada di awal, sebelum
kita mengambil tindakan. Tentu kita telah menimbang-nimbang kenapa memilih
jurusan ini dan itu ketika masih di SMA dulu.
Saya ingin kuliah, memilih Sastra Inggris karena niatnya
memang untuk belajar bahasa Inggris. Bukan karena saya tahu bahwa sastra adalah
melakukan perlawanan (katanya). Dan saya belum paham dengan sastraan kala itu-
maklum masih polos.
Bagaimana jika dalam prosesnya, tiba-tiba kita ingin
merubah niat? Misalnya saya tiba-tiba lebih tertarik belajar sastra
dibandingkan bahasa Inggris. “Ya, silahkan saja, niat memang perlu direvisi,”
kata seorang sahabat.
Merevisi bukan hanya berarti mengganti, bisa juga
menambahkan. Saya tidak perlu menggantikan niat belajar bahasa inggris dengan
belajar sastra. Keduanya bisa dilakukan bersama. Ets, jangan lupa, restu orang
tua perlu dipertimbangkan dalam merevisi niat.
Istilah lain yang memiliki makna berbeda adalah upgrade.
Niat perlu diupgrade layaknya fitur-fitur dalam gadget. Diupgrade supaya sesuai
dengan perkembangan tekhnologi.
Saya beranggapan niat agak mirip dengan visi. Keduanya
sama-sama berisi tentang sesuatu yang bersifat imajinasi atau wawasan yang
dimimpikan. Dan keduanya harus besar karena itulah yang akan mempengaruhi usaha
kita. Seperti halnya visi, niat juga tidak boleh terlalu general, harus focus
dan tajam. Misalnya kalau punya niat untuk berbuat baik, sebaiknya ditentukan
berbuat baik yang seperti apa- membersihkan wc umum atau ingin berinfak, mentraktir
teman-teman sejurusan.
Dalam berniat atau ber-visi, banyak orang menyimpannya
dalam hati, ada yang menulis dalam secarik kertas, bahkan tak jarang yang
melafaskan- bercerita ke orang-orang terdekatnya. Whatever, karena tidak ada ketentuan yang mengikat. Saya pribadi
senang menulisnya pada sebuah buku, lalu menyimpannya baik-baik. Dibuka
sewaktu-waktu.
Lantas apa niat saya menulis ini?
Jumat, 21 November 2014. Meluruskan niat memulai proposal.
Komentar