Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
“Keliling-Keliling Nagari,” begitulah
beberapa mahasiswa Unand memberi arti dari KKN. Kegiatan KKN memang merupakan
proses pengabdian masyarakat, tapi tak bisa dimungkiri sebagian besar mahasiswa
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berlibur, alias jalan-jalan. Seperti
halnya saya, tak membiarkan moment KKN berlalu begitu saja. Sambil nyelam minum
air, juga makan snack balado.
Bahkan sebelum dinyatakan lulus
sebagai peserta KKN tematik di Padang, Sumatera barat, telah kurencanakan
apa-apa yang akan dilakukan nantinya di sana. Termasuk mendaki gunung.
Tiba di lokasi KKN, saya bertemu
dengan teman se-nagari salah satunya adalah Andri, mahasiswa Antropologi Unand
yang senang mendaki dan kebetulan sudah pernah ke Makassar bahkan sempat
mendaki gunung Bawakaraeng. Kami bercerita panjang lebar, tentang studi saya,
tentang Makassar, Sumatera Barat, hingga saya mengatakan keinginan untuk
mendaki. Alhasil, dia langsung menjawab, “iyya, ntar kita mendaki merapi Mad.”
Wah… :)
***
Minggu terakhir KKN, ketika teman se-posko
saya sedang sibuk-sibuknya mengadakan lomba. Mereka dengan sangat baik hati
membiarkan saya melakukan pendakian. Sekitar pukul sembilan malam, kami
meninggalkan lokasi KKN dengan persiapan seadanya.
3 motor beriringan, membelah angin
bukit barisan. Beberapa kali kami berhenti karena banyak bahan makanan dan
peralatan yang harus dibeli. Dan ban depan salah satu motor tiba-tiba kempis.
Dinginnya malam makin menusuk memaksa
kami berhenti mengisi perut dan baterai Hp di warung Martabak Mesir kota Padang
Panjang. Jaraknya tidak begitu jauh lagi dari titik pendakian. Hampir dua jam
kami di sana sambil sharing mengenai
medan yang akan ditempuh. Maklum saja, diantara kami hanya Andri yang
berpengalaman mendaki merapi.
Tiba di starting point pendakian. Motor kami parkir, tak perlu kawatir
karena ada security disana. Cukup mengisi
buku pengunjung dan membayar Rp. 5.000 per orang. Jadi jika ada pendaki yang
tersesat atau hilang bisa dengan mudah diketahui.
Medan awal yaitu jalan beton setapak
±1 km, kiri-kanannya merupakan perkebunan sayur warga, tanaman cabe keriting
dan sawi-sawian. Hingga akhirnya tiba di
pos Nol, area lapang yang cukup untuk mendirikan beberapa tenda. Di sini juga
dilengkapi dua buah toilet.
Sekelompok
pecinta alam yang mengaku berasal dari berbagai daerah di sumatera menyambut
kami. Beberapa gelas kopi mereka tawarkan. Kami duduk melingkari api unggun, menghangatkan
badan, meski bagian punggung masih saja dingin. Bercerita banyak hingga sekitar
pukul tiga malam. Dan akhirnya mendirikan satu tenda buat Sofie sedangkan kami
laki-laki beristirahat diluar tenda beralaskan matras beratapkan langit. Menatap
bintang.
(View pos Nol) |
***
Sebelum melangkahkan kaki
meninggalkan pos nol, foto-foto tak boleh ketinggalan. Karena di pos nol kita
bisa menikmati fajar membelah gunung Singgalang dan Tandikek tepat di depan
mata. Beruntung pagi itu awan berbaik hati, tak banyak mengganggu moment
foto-foto kami.
Gunung merapi memiliki sedikit sumber
mata air, hanya pada perjalanan ke pos satu dan pos terakhir sebelum puncak.
Jadinya beberapa jeriken kecil air dan botol air minum kami bawa setelah
menemukan sumber air beberapa meter dari pos nol.
(Menuju KM 2) |
Semakin ke puncak, semakin beragam
pula tumbuhan yang kami temui. Dari tumbuhan bunga hingga pohon besar yang baru
kutemui, pohon yang memiliki buah berduri, banyak berserakan di tanah sehingga
beberapa kali menusuk pantat atau tangan kami ketika break.
Beberapa kali kami harus break karena memang tak ada persiapan
fisik sebelumnya (hanya bermodal mental kebaranian),terutama Sofie. Medan
pendakian di sini sebagian besar adalah tanjakan, kalau dapat jalan datar itu
adalah bonus. Beda dengan Bawakaraeng yang naik turun. Dan break terlama adalah
di KM 4 karena hampir semua personil sudah lelah.
Membuat api unggun untuk menghangatkan badan
padahal saat itu hampir pukul 12 siang. Dan yang terpenting adalah makan. Ets,
only some of us karena saya dan bang Ari alhamdulillah masih tahan godaan haus
dan lapar, while Taufik had been surrender. Istirahat makin panjang karena
hujan tiba-tiba memaksa kami mendirikan tenda, menghindari kuyup.
(kala hujan turun) |
Lelah tak pernah dikeluhkan karena
ambisi kuat untuk segera mencapai puncak. Jalan makin sempit dan licin,
melawati batuan celah batu-batu besar atau pun tanah yang sebentar lagi menjadi
batu. Monyet bersahut-sahutan, mungkin si jantan sedang menggoda betinanya. Entah
telah berapa kali Andri menjanjikan puncak yang katanya sudah dekat.
Kami dan matahari terus bergerak. Kami
ke atas sedang ia ke bawah. Siul merdu burung menggantikan cekikikan monyet.
Mereka menyambut kami menuju puncak, sepertinya. Tak ada lagi pohon besar yang
menjulang, hanya tanaman-tanaman kecil yang memenuhi tanah batuan. Tibalah kami
di pos terakhir, tempat mendirikan camp.
Sofie segera menyiapkan makan malam
dan buka puasa. Sayangnya tikus-tikus hutan mencium makanan kami, tak tahu
berapa jumlahnya, mereka seperti monster bergantian bergerak gesit menyerang,
bermaksud merebut makanan kami. Beberapa orang histeris (tak perlu kusebutkan
siapa). Lama-lama mereka bosan juga mengganggu.
Awan dan matahari bersepakat.
Matahari akan segera menghilang meninggalkan senja yang sangat indah. Langit
memerah, lautan awan berbentuk. Betapa luar biasa Tuhan yang menciptakan.
Memasukkan malam ke dalam siang.
Segelas Cadbury hangat membasahi
kerongkongan. Alhamdulillah, betapa indahnya perjuangan berbuka puasa kali ini,
Sabtu, 19 Juli 2014. Saya dan Bang Ari bisa mempertahankan puasa. Terima kasih Bang
atas semangatnya. Terima kasih Sofie atas Cad Burry nya.
(Segelas Cadbury tuk buka puasa) |
Klik, klik, klik. Bunyi kamera. Kami
bergantian berpose.
Malam itu tak ada bulan, tapi cahaya
kota Padang Panjang dan kota Bukit Tinggi tampak dari sana. Bukit Tinggi masih
lebih ramai dan terang dari pada Padang Panjang.
Api unggun mulai redup dan malam makin
dingin. Saya memutuskan segera istirahat, yang lain masih memilih menikmati
malam. Namun, dalam tenda tetap saja dingin. Saya hanya bisa tidur ayam.
Dinginnya menembus tulang-tulang meski menggunakan sleeping bag. Paling lambat pukul setengah 5 subuh kami harus
menuju puncak, menemui fajar.
Persediaan makanan dan minuman
sebenarnya hampir tidak mencukupi. Hanya 3 bungkus nasi dan 5 bungkus mie
instant untuk 2 hari. Namun patut disyukuri karena saya dan Bang Ari tetap
puasa sehingga tidak membutuhkan banyak minum. Subuh itu, saya dan bang Ari
sarapan 2 bungkus mie dan beberapa potong roti serta beberapa teguk air yang
amat dingin. Puasa tidaklah dinilai dari sahurnya.
Lagi-lagi saya kembali ke tenda
sedangkan bang Ari lebih suka memanjat pohon, menikmati angin. Kami menunda
menemui senja karena dingin yang teramat. Kami bisa melakukannya di pagi hari.
Pukul sembilan. Kami meninggalkan
barang bawaan kecuali sebuah tas yang dibawa oleh Taufik. Semua barang memang
sebaiknya ditinggalkan di tenda karena medan menuju puncak adalah cadas dan
batuan-batuan berpasir. Tidak lupa memanjatkan doa.
Itulah perjalanan yang sebenarnya
oleh kami, melawati lapisan tanah yang keras, batu-batu pada pasir dan tanah.
Tak ada lagi pohon meski yang kecil. Kami berkeringat dalam dingin dan tekad
yang makin kuat. Kami ber-5 akan menaklukan merapi sumatera barat. Teringatlah
film 5 cm meski sebenarnya beda.
(Bukan 5cm) |
Tibalah kami di tugu Abel, sebuah tugu
untuk mengenang salah seorang pendaki bernama Abel Tasman. Adalah pintu masuk
menuju puncak merapi. Gunung Singgalang dan Tandikek tampak kokoh jika
dipandang dari sini. Kami termasuk beruntung karena awan tipis sehingga semua
terlihat jelas dan megah termasuk pinggir laut Padang Pariaman, Kota Bukit
Tinggi, dan Panjang. Puas foto-foto kami bergegas menuju puncak yang sudah di
depan mata.
Di gunung merapi ini juga terdapat
lapangan yang katanya sering dipakai pendaki bermain sepak bola. Lapangan luas
berpasir. Juga untuk menuliskan nama atau komunitas. Baik itu menulis di tanah
berpasir langsung, ataupun dengan batu-batu yang disusun. Saya juga ikut
menulis nama FLP dan Caterpillar 2011, nama angkatan saya. Menurutku, itu jauh
lebih baik dari pada menulis menggunakan cat semprot pada batu-batu besar.
Bau gas belerang pada kawah merapi
semakin menusuk hidung mendekati merapi. Masker atau penutup hidung lainnya
memang harus disiapkan. Di gunung ini terdapat 3 kawah, dua diantaranya masih
aktif. Berjalan ke puncak pun harus ekstra hati-hati karena jalan berpasir dan
semakin sempit.
![]() |
(Tanjakan terakhir menuju puncak) |
Kami memutuskan segera turun sebelum
tengah hari. Saya, Taufik, dan Bang Ari berjalan mengelilingi kawah. Sedangkan
Sofie dan Andri melewati jalan yang sama saat datang. Kami akan bertemu di tugu
Abel.
Jalan yang kami bertiga ambil
ternyata sangat ekstrim. Tanah berpasir dan miring membuat kami harus melangkah
pelan-pelan. Bisa saja tergelincir ke kanan lalu jatuh ke bawah, kaki gunung
atau masuk ke kawah jika jatuh ke kiri.
Saya dan Taufik yang mulai lelah
segera ke tugu Abel menemui Sofie dan Andri. Sedangkan bang Ari yang masih
semnagat berjalan sendiri ke taman Edelweis.
Awan telah menutupi pandangan kami
dari sekeliling ketika bang Ari telah kembali membawa setangkai Edelweis
(sebenarnya dilarang). Lagi-lagi kami befoto sebelum meninggalkan rindu menuju
camp membereskan peralatan.
(Selfie di puncak) |
(Tiba di kaki gunung) |
Tak lupa singgah berfoto di rumah
puisi Taufik Ismail. Terakhir, buka puasa dengan bakso yang terkenal di Padang
Panjang. Hingga kembali ke posko, beraktivitas sebagai mahasiswa KKN.
Terima kasih. Ini tak akan terlupakan :)
Komentar
cuma kurang satu pemain. Dinda nda ikut :D