Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Di atas panggung, kusembunyikan canggung yang
hampir-hampir melumpuhkan organ gerak. Kemudian kuberteriak lantang, sorotkan
mata tajam, dan sesekali berbisik lembut. Hingga penonton terkagum-kagum – mungkin
meleleh.
Ah! Itu
hanyalah hayal yang sering muncul di benakku sejak menghadiri kegiatan Sekolah
Islam Athirah. Acara temu penulis yang menghadirkan sastrawan Indonesia, Taufik
Ismail. Juga mengundang beberapa organisasi dan komunitas se-Makassar untuk
turut membacakan atau pun musikalisasi puisi.
Atau mungkin
bukan karena itu, tapi sejak kami (saya, Kak Syahrir, Kak Isma dan Kak Fika menghabiskan
se-sore-an di Cafe Baca untuk latihan berpuisi. Bukan kami sebenarnya, tapi hanya
Kak Syahrir dan Kak Fika, while saya
dan Kak Isma adalah komentator terhebat yang tak bisa berpuisi.
Pernah sekali,
beberapa hari lalu di Sekolah Kritis PERISAI saya memberanikan diri membacakan
puisi “Membaca Tanda-tanda” karya Taufik Ismail, itu pun karena kami hanya
beberapa orang di sana. Dan itu adalah kali pertama sejak masa SMA dulu. Tak
peduli seberapa buruk teman-teman menilainya.
Sungguh,
Saya belum berani berpuisi.
Dan malam ini
saya lebih memilih mendengar puisi saja dari pada menghadiri dua acara puisi.
Pertama, dengan alasan yang sebenarnya tidak berterima di akal, kukatakan aku
tak bisa hadir pada Sastra Bulan Purnama di Fakultas Sastra. Padahal itu hanya alasan
agar aku tak jadi membacakan puisi salah seorang dosen yang telah saya iya-kan
untuk menampilkannya. Manalah aku berani berpuisi di depan teman-teman fakultas
sastra yang banyak diantara mereka jauh lebih keren.
Kedua,
menolak ajakan teman-teman FLP (Kak Syahrir, Kak Fika dan Batara) berpuisi di
LASKAR EBS FM. Sedang saya hanya mampu menyumbat telinga dengan mendengar
puisi-puisi menggetarkan gendang telinga.
Sudahlah.
Suatu
kesyukuran saya tidak Disleksia, sehingga air yang kutuang ke dalam gelas
tetaplah air, tak menjelma huruf-huruf yang kemudian jatuh satu persatu ke
dalam gelas menjelma puisi.
Kak Isma,
ayo berpuisi, TAPI selesaikan dulu Skripsinya.
Komentar