Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Kusempatkan pulang hari itu, meski sebenarnya libur
hanya sehari untuk pesta pemilu lima tahunan saja.
“Lumayan ada tambahan satu suara,” begitulah kata
mama saat ia berusaha membujukku lewat telepon. Memang satu suara sangat
penting bagi caleg manapun termasuk bagi
sanak saudaraku yang menjadi caleg
DPR Daerah. Kesempatan itu juga bisa melepaskanku dari masalah-masalah kampus
barang satu atau dua hari.
Kumelangkah menuju rumah tetangga yang telah ramai
sedari tadi. Kubiarkan Ridho, teman seasramaku yang ikut denganku ke kampung
halaman istirahat sendiri di depan TV. Aku tak perlu kawatir jikalau dia mole karena ia selalu punya cara untuk
melawan kesendirian.
Aku canggung ketika kaki-kakiku menuruni anak
tangga. Karena yakin bahwa yang akan kutemui di sana bukan lah seumuranku. Kebanyakan
orang tua. Belum lagi aku memang sedikit tertutup dengan orang-orang kampungku.
Ah! Kutanggalkan rasa itu. Bukankah sudah semestinya
kubuang individualisme dan sifat kekanak-kanakanku. Malu sama usia yang sudah
21 tahun.
***
Kudapati mereka tengah asyik bercerita. Tak
sepenuhnya kumengerti dan kuingat yang mereka perbincangkan. Yang jelas mereka
berbicara bergantian dengan suara tegas. Kutangkap sedikit nada keangkuhan di
dalamnya. Jika kalian dapati hal yang sama, kalian harus tahu, sesungguhnya itu
bukan keangkuhan, hanya jati diri petarung yang ingin keluar. Itulah lelaki
bugis sesungguhnya.
Beruntung aku
pewe dengan tempat duduk yang kupilih dan orang-orang juga tidak begitu
mempedulikan kedatanganku sehingga aku bisa menyimak dengan sebaik-baiknya.
“Namu Ikalaki
Kumassiddi’ maki,” (biar kalah yang
penting kita bersatu) kata salah seorang diantara mereka. Aku tersenyap. Masih
sebesar itukah persatuan mereka, orang bugis?
Ilustrasi |
Aku kagum tapi tak sepenuhnya percaya. Bisa saja itu
hanyalah suara-suara kemunafikan yang dilontarkan supaya mereka terkesan
peduli. Siapa yang lebih tahun hati manusia kecuali tuhannya.
Tak lupa saksi tiap TPS juga ditentukan dan aku
dimintai membagikan surat mandat saksi yang sebelumnya telah diisi bidata (beruntung
aku tak ditunjuk jadi saksi). Tentu surat mandat itu dibagikan bersama dengan
amplop putih yang entah berapa rupiah isinya.
Dua hal yang masih sangat sulit untuk dilenyapkan
begitu saja di masyarakat, money politic
dan nepotisme. Tak jarang seseorang menerima uang dari caleg-caleg, bahkan lebih dari dua atau tiga caleg sekaligus. Sedangkan nepotisme, itu sudah pasti meski tak
muncul jelas di permukaan. Konsolidasi malam itu adalah tindakan halus dari
nepotisme sebenarnya. Dan entah lebih buruk yang mana, nepotisme atau politik
uang.
Jarum jam terus berotasi hingga menjelang pukul 11
malam. Dan orang-orang terus saja berdatangan, memenuhi kolong rumah panggung
yang makin sesak. Mereka masih saja membicarakan tentang apa yang dilakukan dan
mengira-ngira yang akan terjadi besok.
Komentar