Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Ini tentang uang, tapi bukan membahas
Korupsi yang katanya dibenci oleh manusia. Ini memang tentang sahabat tapi
bukan membicarakan seorang yang merebut pacar sahabatnya.
Katanya
“Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan uang”, tapi aku tidak mau “munafik” dan dengan
lantang aku akan meneriakkan kepada Pemilik Segala bahwa “Ya, aku memang butuh
uang, dan uang adalah salah satu hal yang bisa mengobati kegalauan”. Tapi,
jujur aku paling tidak suka jika “seseorang mau membeli sebuah pertemanan
dengan uang”, atau mungkin menghancurkan nilai sebuah pertemanan karena dinilai
dengan uang.
Kita
masih ingat waktu SMP dan SMA dulu, kita paling benci dengan orang pelit yang
tidak mau memberikan sepotong huruf pun jawabanya ke orang lain saat ujian,
apalagi saat Ujian Sekolah dan Nasional. Dan mungkin serentak kita akan
berlomba-lomba untuk mengucilkannya di kelas, juga membisikkannya ke orang
lain, “Dasar dia Pelit”.
Kalau
dipikir sacara logika, wajar saja jika seseorang tak mau memperlihatkan ujiannya,
toh dia yang capek-capek belajar, begadang, bahkan mungkin merendam kakinya
dalam sebaskom air. Tapi kita harus gunakan perasaan guys, bahwa kita adalah teman, kita harus saling membantu, apalagi
saat dalam keadaan darurat seperti itu. Cukup kita yakin bahwa Allah Maha
Melihat, Ia mengetahui siapa hambanya yang bersungguh-sungguh dan siapa yang
biasa-biasa saja. Jadi tidak perlu “sekke’”.
Saat
ujian, dan kita meminta jawaban dari seseorang, kita tidak pernah mengatakan “Bro, nomor 1-10 jawabanya apa?, nanti
saya kasi uang 10.000 deh” karena memang keadaannya mendesak dan kita meminta
jawaban karena mengaku sebagai teman. Yakin, teman yang baik akan membisikkan
jawaban ke telinga, meski mungkin hatinya cemberut.
Itu
kisah SMP dan SMA yang juga masih sering terkisah di bangku kuliah, yang
semestinya sudah hilang karena kita semakin dewasa, tapi lagi-lagi aku tidak
mau “munafik” karena aku pun demikian. Menyontek secara terang-terangan maupun
secara sembunyi-sembunyi, bahkan copy
paste. Hal yang biasa-biasa saja menurutku.
Tapi
tidak, jika seseorang menyontek, meminta tolong dengan cara yang tidak lazim,
terlebih jika status yang dikalungi bukan sebagai siswa SMP atau SMA lagi.
Atau
jika setelah membantumu mengerjakan tugas, “kamu” mengajak ke kantin. Dan
tiba-tiba “kamu” yang bayar (*mimpi). Itu hal yang sangat, sangat wajar sebagai
ucapan terima kasih. Meski sebenarnya cukup “kamu” ucapkan terima kasih,
bukankah Allah telah menjanjikan surga yang di bawahnya mengalirnya
sungai-sungai kepada umatnya. Bukankah menolong itu tak perlu pamrih.
Atau
jika aku yang meminta uang 50ribu sebagai hasil kerja kerasku menyelesaikan
tugasmu, ya, mungkin juga wajar . Tapi jelas sangat tidak wajar bagiku jika “kamu”
seolah-olah bisa membeli apa pun di dunia ini dengan uangmu. Apalagi jika “kamu”
ingin seenaknya membeli hasil pemikiran yang bukan untuk dijual. Atau bahasa
halusnya, aku yang buat tapi hak ciptanya “kamu” yang punya. Menjual tulisan, berbeda dengan menjual hak
cipta.
Cukup
kita jadi sahabat, tapi bukan sehabat dua, tiga hari saja (hanya jika punya
tugas “kamu” menampakkan muka lusuhmu), maka kita akan saling membantu, tanpa
harus memberiku uang. Persahabatan adalah tentang mengukir nilai tanpa harus “kamu”
mengajakku berbisnis.
Komentar