Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan".
Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari pihak mahasiswa. Dan bukan mahasiwa aktivis namanya kalau mereka tidak peka melihat kebijakan-kebijakan yang dianggap kurang bersahabat di posisi mereka.
Mahasiswa pun melakukan protes yang tentu juga dilakukan secara daring terhadap kebijakan tersebut. Protes yang banyak terjadi adalah tidak adanya subsidi kuota internet untuk melaksanakan kuliah daring, tidak adanya pemotongan UKT bahkan ada yang menaikkan UKT di tengah kondisi bangsa yang sedang menghadapi wabah Covid-19. Tanggal 2 Mei kemarin yang bertepatan dengan hari pendidikan, mahasiswa dari berbagai kampus pun ramai-ramai melakukan protes. Di twitter misalnya, #amarahBrawijaya, #undipkokjahatsih, dan #unandjanganpelit sempat jadi trending topik.
Tak ketinggalan mahasiswa UIN Alauddin, mereka ramai-ramai menyatakan sikap menolak pembayaran UKT semester selanjutnya. Tuntutan yang lebih besar dari kampus lain yang hanya meminta potongan. Yang banyak beredar, mereka menolak dengan alasan mereka tidak perlu membayar apa-apa untuk pelaksanaan kuliah daring, mereka merasa tidak menggunakan fasilitas kampus.
Sampai di sini, saya biasa
saja, tidak ingin bersikap apa-apa atas apa yang mereka suarakan dan apa yang
memang manjadi hak mereka untuk bersuara. Toh, memang sebaiknya kampus
mempertimbangkan untuk memberikan keringanan (read: keringanan, bukan
penghapusan) pembayaran UKT kepada mahasiswa ataupun subsidi kuota, tentu dengan
mempertimbangkan kondisi keuangan kampus karena tidak semua kampus cukup kaya
untuk melakukan itu. UIN Alauddin bukanlah PTN-BH sekelas UGM, yang menurut
Kompas (7/5/20), mempunyai dana abadi pendidikan yang bisa dimanfaatkan untuk
penyelanggaran pembelajaran jarak jauh.dalam kondisi darurat seperti saat ini.
Bermain dengan Narasi
Saya tidak tertarik membahas
hal ini. Ada hal yang saya pikir lebih penting untuk diluruskan, yang saya
dapati dari status WhatsApp (2/5/20) salah seorang mahasiswa saya yang turut
mengampanyekan protes penolakan pembayaran UKT tersebut. Jadi semoga tulisan
ini sekaligus untuk menjawab pertanyaanya. (Kenapa harus capek-capek menjawab
pertanyaan satu orang saja? Ya karena ini penting dan bisa jadi masih ada
mahasiwa yang berpikiran seperti itu)
Jadi setelah menyatakan menolak
pembayaran UKT, di status selanjutnya mahasiwa tersebut lalu mempertanyakan,
“Mengapa
biaya pendidikan tidak merujuk dari kondisi negara? Apakah pendidikan dan hidup
dan taraf yang lebih baik hanya untuk orang kaya? Sedangkan yang kurang mampu
tidak diberi kesempatan untuk merubah taraf hidup mereka.”
Lantas pertanyaan sekaligus
pernyataan ini didukung oleh temannya yang membalas status tersebut dengan
jawaban mendukung yang lagi-lagi menganggap bahwa pendidikan yang lebih tinggi
hanya untuk orang kaya dan katanya, dengan mengutip salah satu penulis novel
populer Indonesia, beberapa jurusan memang dirancang untuk orang kaya.
Parahnya, ada penegasan ulang lagi dari mahasiswa saya ini, dengan mengatakan,
“Berarti kami [yang kurang mampu] tidak cocok untuk kuliah.”
Tentu, saya senang dengan
bentuk percakapan sederhana seperti itu, tapi percakapan itu pulalah yang
membuat saya “jengkel”. Saya pikir salah besar jika mengatakan kuliah hanya
untuk si kaya sementara si miskin tidak punya kesempatan merubah taraf hidup,
dan si miskin tidak cocok untuk kuliah. Saya pikir di zaman sekarang ini tidak
ada lagi anggapan-anggapan seperti ini, karena negara tidak pernah melarang
dari kelas mana pun umtuk kuliah. Kalau pun ada yang masih beranggapan demikian,
maka mungkin kitalah yang mengurung pikiran-pikiran kita sendiri dengan prasangka-prasangka
yang subjektif dan tidak tepat.
Jadi, memprotes UKT, silakan,
tapi mengaitkan bahwa pendidikan hanya untuk orang kaya adalah sebuah narasi
yang kurang tepat karena memberikan persepsi hanya satu sisi. Makanya, semoga
tulisan ini bisa memberikan persepsi lain atau setidaknya mengingatkan,
terutama ke penulis pribadi.
Privilege Untuk Si Miskin
Sebagai bagian dari kelompok
menengah ke bawah, saya dan jutaan orang yang mendapatkan privilege untuk
mengakses pendidikan lebih tinggi akan sangat menentang jika dikatakan
“pendidikan yang lebih baik hanya untuk si kaya.” Sebaliknya, justru dalam
pendidikan saya melihat (dan merasakan) kelompok menengah ke bawah akan
diperlakukan secara khusus dalam akses pendidikan tinggi. Dan semakin hari,
jalan itu terbuka makin lebar.
Tahun 2010, pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan meluncurkan program Bidikmisi yang ditujukan khusus
kepada mahasiswa miskin berprestasi yang ingin melanjutkan pendidikan S1.
Program yang awalnya hanya diberikan kepada kampus negeri, sekarang juga
berlaku untuk kampus swasta karena kenyataanya mahasiswa miskin tidak hanya
berada di kampus negeri.
Jumlah penerima beasiswa bidikmisi
terus bertambah. Terakhir di tahun 2019, jumlah penerima mencapai 130ribu
mahasiwa. Namun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin sebesar 24,79
juta menurut data BPS per September 2019, kuota 130ribu masih sangat sedikit.
Tidak berhenti di jenjang S1, kelompok
miskin masih memiliki privilese untuk lanjut ke pendidikan tinggi S2 dan S3.
Salah satunya melalui LPDP yang merupakan beasiswa bergengsi dikelola oleh Kementeriaan
Keuangan. LPDP memberikan hak istimewa kepada kelompok miskin melaui jalur
afirmasi alumni Bidikmisi dan afirmasi pra sejahtera berprestasi. Dengan jalur
afirmasi, penerima akan mendapat pelatihan bahasa secara khusus memenuhi syarat
untuk melanjutkan pendidikan baik di dalam maupun luar negeri. Tentu kesempatan
seperti ini tidak bisa dinikmati oleh semua orang.
Pemerintah tentu akan selalu
berusaha memberikan peluang ke kelompok kurang mampu sebagaimana kewajiban
pemerintah yang tertera dalam Pasal 76 UU No 12 Tahun 2012 yang menyatakan
bahwa, “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban
memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat
menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.” Salah satu hak yang
dimaksud adalah mendapatkan bantuan atau
bebas biaya kuliah.
Jika kembali ke pertanyaan
mahasiwa tadi. Maka jawabannya memang iya, pendidikan yang lebih baik hanya
untuk si kaya hanya jika si miskin tidak mau berusaha. Jadi selalu ada premis,
bukan karena pemerintah melarang si miskin dengan cara melahirkan kebijakan-kebijakan
yang selalu sengaja mengerdilkan kelas bawah.
Kesenjangan Sosial Selalu Ada
Walaupun pemerintah sebagai
pembuat kebijakan telah membuka lebar keran pendidikan kepada kelompok miskin,
tidak bisa dimungkiri kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin dalam bidang
pendidikan akan selalu ada. Karena pendidikan tidak hanya tentang biaya kuliah,
tapi hal ada hal-hal lain juga berpengaruh namun tidak ditutupi oleh beasiswa,
misalnya fasilitas. Tentu kelas atas dapat memiliki fasilitas pendidikan yang
lebih di banding kelas bawah.
Dalam masa pandemi Covid-19
yang mengharuskan belajar di rumah, kesenjangan sosial akan sangat tampak.
Mahasiswa dari kelaurga berada dapat dengan mudah memenuhi kubutuhan kuota
internet untuk mengikuti pembelajaran dari platform manapun. Sementara
mahasiswa miskin akan memiliki akses yang terbatas. Penggunaan platform
berteknologi tinggi tentu perpengaruh pula pada kualitas pembelajaran.
Selain itu, ada mata kuliah
tertentu, sepertu praktik Speaking
yang memang membutuhkan penggunaaan teknologi tinggi seperti zoom untuk proses
perkuliahan yang lebih efektif. Namun sayang sekali, tidak semua golongan bisa
memenuhi kebutuhan kuota untuk akses tersebut.
Jadi, memang betul juga pendapat
kontroversial dari Sekretaris Pendidikan Inggris Michael Gove yang disampaiakan
kepada komite pendidikan umum tahun 2019 lalu bahwa anak “kaya tapi bodoh”
lebih baik daripada anak “miskin tapi pintar” bahkan sebelum mereka mulai
sekolah.
Komentar