Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Nama saya Ahmad, alumni Sastra
Inggris Universitas Hasanuddin. Berkat bantuan dari pemerintah, saya dapat menyelesaikan
studi dalam masa 3 tahun 8 bulan dengan predikat Cumlaude. Selama kuliah, saya juga bergabung dan belajar dalam
lembaga kemahasiswaan, lembaga dakwah, maupun lembaga yang mengembangkan minat
menulis saya.
Di dalam kampus, saya pernah
menjabat di Perhimpunan Mahasiswa Sastra Inggris (PERISAI) sebagai anggota
divisi Kemahasiswaan, lalu tahun selanjutnya menjadi koordinator. Saya dan tim
membantu permasalahan akademik mahasiswa, misalnya jika ada masalah pada portal
pengisian KRS online mahasiswa, memfasilitasi kelas tambahan untuk mahasiswa
baru, dan membantu proses advokasi mahasiswa yang terancam drop out. Di lembaga kemahasiswaan ini saya banyak belajar tentang
kepemimpinan, manajemen waktu, problem
solving dan tentu belajar bersabar ketika dituntut untuk segera
menyelesaikan masalah yang ada.
Selepas kepengurusan di
jurusan, saya diamanahakan sebagai
pengurus lembaga dakwah mahasiswa Al-Aqsho, khususnya dalam bidang syiar:
membuat buletin jumatan sekali dalam dua pekan sepanjang satu periode
kepengurusan. Suatu tantangan tersendiri untuk membuat buletin dakwah yang
menarik di tengah era digital, namun di sini saya belajar bagaimana berdakwah
melalui tulisan seperti yang Imam Al Ghazali lakukan. Saya tetap semangat menulis
buletin meski di tengah kesibukan bergelut dengan skripsi.
Sehubungan ketertarikan saya dalam
menulis yang sejak SMA mulai menulis di blog pribadi, saat kuliah pun saya pun bergabung
di Forum Lingkar Pena (FLP). Organisasi yang telah mengajarkan banyak hal
tentang kepenulisan, keorganisasian, dan keislaman. Tiga tahun menjabat di
ranting Unhas; awalnya sebagai anggota divisi Dana dan Usaha, koordinator
Kaderisasi, hingga dewan penasihat. Lalu di tingkat kepengurusan cabang, saya
diberi kepercayaan sebagai sekretaris hingga sekarang. Karena organisasi ini
pula, Alhamdulillah beberapa karya saya bisa diterbitkan di media lokal maupun
nasional, termasuk pengalaman-pengalaman ketika terjun di masyarakat.
Ketika melaksanakan kegiatan
bakti sosial PERISAI di Dusun Sabang, Desa Bonto Bahari, Kabupaten Maros,
timbul perasaan bahagia, terharu, juga sedih melihat antusias anak-anak kecil
yang diantar oleh orang tuanya ke masjid untuk belajar bahasa Inggris. Meskipun
tinggal di daerah terpencil dengan fasilitas minim, mereka memiliki semangat
besar dalam belajar. Kemudian, saat kegiatan KKN tahun 2014 di Korong Durian
Kadok, sebuah kampung kecil di Padang Pariaman, Sumatera Barat. Hampir setiap
sore mengunjungi PAUD sebagai tempat pertemuan lalu mengajari anak-anak SD-SMP
bahasa Inggris. Sebaliknya, mereka dengan senangnya mengajari saya bahasa
Minang. Saya bahkan belajar Tari Piring dari tokoh masyarakat. Tidak ingin
membiarkan kebahagiaan ini berlalu begitu saja, saya pun menulis liputan feature mengenai kedua kegiatan sosial
ini, mengirim ke media, dan Alhamdulillah diterbitkan. Meski hal sederhana,
tapi semoga bisa menginspirasi bagi siapa pun yang membacanya.
Saya percaya bahwa ilmu bisa
diikat melalui dua hal. Pertama, melalui tulisan seperti sabda Rasulullah,
“Ikatlah ilmu dengan tulisan” sehingga saya masih menulis di media lokal maupun
nasional baik berupa cerpen, esai, maupun apresiasi sastra. Kedua, melalui
pengajaran, Ada yang pernah mengatakan bahwa ilmu baru bisa dikatakan ilmu jika
diajarkan kepada orang lain. Saya mencoba membagikan ilmu yang telah saya
peroleh melalui sekolah menulis FLP yang diadakan oleh ranting-ranting kampus
di Makassar. Memberikan mereka semangat untuk terus belajar dan berjuang
menulis, ataupun mengisi kelas sastra. Selain itu, saya terus berusaha
mentransformasikan ilmu yang telah saya peroleh kepada siswa-siswa yang saya
ajar hingga sekarang di kelas bahasa Inggris dan bahasa Indonesia pada sebuah
lembaga kursus dan kelas writing process
pada sebuah yayasan SMP-SMA.
Berangkat dari latar belakang
pendidikan Sastra Inggris yang mengajarkan teori dan kritik sastra dan
keikutsertaan dalam organisasi kepenulisan yang mengajarkan untuk menulis
sastra, memotivasi saya untuk melanjutkan studi dengan mengambil konsentrasi Modern Literature and Creative Writing
di University of Leicester sehingga
dapat meningkatkan kemampuan saya secara teoritis maupun praktek menulis dalam
bidang sastra serta dalam bahasa Inggris.
Setelah menyelesaikan studi, saya
akan kembali ke Indonesia-negara yang
memiliki matahari sehangat orang-orangnya, mengabdi di almamater tercinta
Universitas Hasanuddin sebagai tenaga pendidik yang ahli dalam bidang sastra, dan
menjadi penulis sekaligus kritikus sastra yang memberikan apresiasi terhadap karya
anak bangsa, bukan hanya di komunitas saya, tapi kepada bangsa Indonesia secara
umum demi mencapai kesusastraan Indonesia yang lebih maju. Saya sadar bahwa
pendidikan itu tidak mudah dan tidak murah, sehingga jika diberi kesempatan
melanjutkan studi program magister dengan bantuan beasiswa LPDP jalur Afrimasi,
saya akan belajar dengan sungguh-sungguh hingga kelak dapat memberikan kontribusi
terbaik untuk negeri ini.
*Esai ini disubmit pada pendaftaran beasiswa LPDP 2016
Komentar