Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
‘We don’t need
Money, We need Recognition,’ kalimat
yang masih membekas dalam pikiran saya, kalimat yang membuat kagum, sedih,
sekaligus marah. Tidak bisa dimungkiri, setiap orang butuh RECOGNITION, pengakuan bahwa ia ada. Apalah arti harta dan ilmu jika kita tidak diakui di masyarakat misalnya. Apalagi sebuah kelompok yang besar, bangsa. Tentu mereka butuh pengakuan. Ya, setidaknya, menurut saya, kutipan dialog tersebut bisa mewakili
perjuangan orang-orang Palestina tergambarkan di film The Wanted 18.
Malam kemarin (16/2) Alhamdulillah, bersyukur bisa
ikut nonton bareng dan diskusi film tentang Palestina yang diadakan oleh Arab House Society dan Aberdeen Student Palestine Society.
Pertama, bisa mencicipi beberapa makanan khas timur tengah untuk pertama kali —Ah,
dasar manusia, makanan selalu saja yang pertama kali muncul di ide atau pembicaraan,
apalagi kalau gratis. Maaf, tapi karena memang ketika baru masuk ke ruangan,
kami disambut dengan dipersilahkan mencoba makanan dan minuman yang disediakan.
Tidak seperti pada kebanyakan kegiatan yang dulu sering saya ikuti dulu yang
ketika datang kita disambut dengan administasi—isi buku tamu menjadi hal wajib
dan syarat sebelum masuk. Karena semuanya terlihat baru di mataku, jadi saya
ambil saja sampel masing-masing, hehehe… Tapi Mas Irham yang paling senang
dengan “menu” malam kemarin, “I found Tho'miyyah (a mouth-watering local cuisine of Egypt)
that I have not tested it since 2.5 years,” katanya di status fb. Wajar sih, pernah
di Mesir 4 tahun membuatnya akrab dan rindu dengan makanan tersebut, Sedangkan
saya, ternyata, it was not as delicious as I thought. Apalagi yang mirip salad
itu rasanya aneh, sangat. Kalau Tho'miyyah lumayan enak. Maaf, bicara
makanan sampai sepanjang ini.
Yang kedua, dan paling
penting tentang filmnya, The Wanted 18.
Merupakan film dokumenter, plus animasi (18 ekor sapi yang bisa bicara dan
masing-masing punya nama) tentang perjuangan warga Palestina, khususnya di
daerah Beit Sahour melawan militer. Melalui 18 ekor sapi mereka berjuang untuk
memproduksi susu sendiri dan mendistribusikannya ke penduduk Beit Sahour,
mereka ingin lepas dari tangan Israel. Ya, mereka dilarang memproduksi makanan
sendiri, tapi harus membeli dari Israel sendiri. 18 sapi itulah kemudian
menjadi kekawatiran Israel— militer Israel mengingikan sapi
tersebut dihilangkan—hingga penduduk Beit Sahour berjuang
memindah-sembunyikan sapi-sapi tersebut. Apa daya, Palestine kalah “power.”
Film ini sangat
menarik, memberikan pengetahuan baru tentang ‘Intifada’ misalnya— jujur,
saya baru tahu istilah ini—merupakan perlawanan Palestina terhadap
pendudukan Israel. Film ini tentang Intifada pertama (1987–1993). Mengetahui bahwa ternyata yang
berjuang di Palestine bukan hanya orang-orang muslim, bahkan katanya di Beit
Sahour mayaroritas penduduknya adalah Kristen. Mereka sama-sama berjuang
melawan. Saya banyak belajar, JUGA
saya semakin sadar bahwa masih banyak yang tidak saya tahu tentang Palestina.
Mengenai ketika
perasaan yang bercampur saat menonton film ini seperti yang saya katakan di
awal tadi: Kagum, tentu karena perjuangan
mereka dalam melawan Israel dan berusaha mengembangkan ekonomi sendiri; sedih
melihat bagaimana militer Israel memperlakukan mereka; sekaligus marah, jengkel
terhadap kebiadaban Israel. Saya pikir kisah mereka membeli, memproduksi susu,
dan mempertahankan 18 sapi tersebut adalah contoh yang sempurna.
Yang ketiga dari forum
ini tentu ketemu dengan orang-orang baru. Hal yang lumrah sebenarnya, tapi karena
kita tidak pernah menemui karakter yang sama dalam setiap forum jadi harus
masuk dalam cerita. The man who sits beside us orang Jerman, and in front of me
orang Turki (tidak kena foto). Berawal dari kenalan, tanya jurusan, hingga cerita tentang negara masing-masing.
Yang mengejutkan: Max (Jerman) mengenal Indonesia dengan negara yang banyak
orang Cinanya. Memang sudah separah itu
ya? Pikirku malam itu. Ternyata dia memang pernah tinggal di beberapa negera,
termasuk Maroko, jadi wajaralah pengetahuannya dalam dan “aneh”. But I think
mereka termasuk kategori friendly dibandingkan teman sekelas yang sifat individualismenya
lumayan. Mungkin karena yang di forum ini kebanyakan masih mahasiswa undergraduate.
Komunitas ini, Aberdeen
Student Palestine Society, pun ternyata
memiliki member yang bukan hanya muslim, bahkan kalau saya lihat sekilas lebih
banyak non-muslim. I don’t mind to labeling
by religion, tapi saya kagum dengan apa yang mereka lakukan untuk
Palestina. Beberapa bahkan telah ke Palestina berbagi dengan penduduk sana.
Salah seorang peserta bertanya, “So, what
can we do for this (to give support)?”
“Boycott
the products of Israel or which support them. As simple as that.” Jawabnya. Ya, jika tidak memungkinkan bergabung dengan
komunitas tersebut, maka hal kecil tapi bisa berpengaruh besar adalah hati-hati
dalam membeli sesuatu, jika memungkinkan, jangan produk Israel.
Aberdeen, 17 February 2017.
Komentar