Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Sukses, sebuah kata kerja
Saya teringat hampir 9 tahun silam, ketika masih duduk di
kelas 2 SMP. Karena didorong oleh teman-teman sekelas, saya maju mendaftar sebagai
calon ketua OSIS bersaing dengan dua calon lainnya. Saat itu pemilihan
dilakukan dengan cara mengutus 5-6 siswa perwakilan kelas. Tiba saatnya
pemilihan, kami berkumpul di aula, setiap peserta menulis satu nama dan nomor
urut calon pada sepotong kertas yang dibagikan. Setelah semua memilih dan hasil
dibacakan. Alhasil saya hanya memperoleh 2 suara: satu suara dipilih oleh saya
sendiri dan satu lagi entah siapa.
Saya merasa sangat malu. Malu pada siswa lain, juga pada
diri sendiri. Lebih dari itu, saya kecewa terhadap lima teman sekelas saya yang
ikut memilih, saya pikir mereka semua akan memilih saya, tapi ternyata mereka lebih
memilih orang lain. Saya bahkan tidak dimasukkan dalam susunan kabinet
pengurus, rata-rata pengurus diambil dari anggota Pramuka dan PMR.
Seiring waktu, saya mencoba mengintropeksi diri. Mungkin saya
memang belum pantas memegang amanah itu. Meskipun selalu juara kelas dan selalu
menjadi ketua kelas, namun itu belum cukup. Ketua OSIS terpilih adalah anggota
pramuka aktif yang sering diutus sekolah pada kegiatan-kegitian luar, sedangkan
saya tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apapun.
Memasuki kelas 1 SMA saya mulai bergabung dengan Pramuka, lalu PMR dan pecinta
mushallah. Bekerja semaksimal mungkin dan menjalin hubungan kerja
sama dan emosional yang baik
dengan rekan se-organisasi. Ketika masih semester genap di kelas 1, saya
memberanikan diri maju sebagai calon ketua OSIS. Meski tidak terpilih, suatu
kesyukuran saya ditunjuk sebagai sekretaris OSIS. Saat kelas 2, saya kembali
mencalonkan diri dan terpilih sebagai ketua pada pemilihan umum dengan rentang
perolehan suara yang lumayan jauh dengan tiga calon lain. Alhamdulillah,
akhirnya Allah memberikan amanah itu setelah melalui perjuangan.
Selain OSIS, saya pun sering dipercaya mewakili sekolah pada
lomba-lomba tingkat kabupaten: debat pramuka, debat bahasa inggris, hingga
siswa berperestasi, namun dari semuanya saya hanya mampu memberikan juara
empat, kecuali lomba teater yang mendapat juara pertama. Saat perpisahaan pun,
saya berada di posisi ke empat lulusan terbaik (akumulasi nilai rapor dan ujian
nasional).
Sukses dapat disama-artikan dengan berhasil, yaitu
mendapatkan hasil atau capaian setelah melakukan usaha. Jadi menurut saya,
sukses ditekankan pada usaha yang dilakukan, bukan pada hasil yang besar atau
kecil. Atau, jika boleh saya mengatakan bahwa sukses adalah sebuah kata kerja,
kita diminta bekerja dan berusaha.
Saya diterima di jurusan Sastra Inggris melalui jalur
ujian tertulis SNMPTN. Suatu kebahagiaan yang luar biasa bisa diterima sebagai
penerima beasiswa bidikmisi. Allah menjawab doa hambanya.
Ketika SMA, saya sangat mendambakan beasiswa swasta yang sering diiklankan di
televisi, bahkan saya ke warnet untuk
mencari informasi lebih. Namun, Alhamdulillah, bahkan Dia memberikan yang lebih
baik, beasiswa bidikmisi.
Di penghujung tahun 2012, sebelum semester tiga berakhir,
suatu kesyukuran Allah memberikan hadiah melalui program kemendikbud. Saya
terpilih sebagai salah satu mahasiswa bidikmisi berprestasi mewakili
Universitas Hasanuddin pada forum bidikmisi nasional di Jakarta.
Cemburu yang Positif
Mengambil jurusan sastra memotivasi saya untuk belajar
menulis. Saya pun bergabung dengan komunitas Forum Lingkar Pena, sebuah
organisasi kepenulisan berbasis dakwah. Menulis tidak segampang yang saya
pikirkan, tidak semudah menyelesaikan novel setebal 300 halaman. Saya mulai minder
ketika cerpen teman-teman se-angkatan di FLP lolos proyek antologi dan beberapa
bahkan telah menerbitkan di media cetak.
Saya cemburu, tapi mungkin sebaik-baik cemburu adalah
cemburu yang membangkitkan gairah untuk melakukan hal lebih baik darinya. Saya tidak
menyerah dan terus memperbanyak bacaan. Hingga setelah setahun lebih,
Alhamdulillah untuk pertama kali tulisan saya diterbitkan di koran nasional.
Proses yang menyenangkan. Kami saling cemburu satu sama
lain, namun cemburu itulah yang memicu semangat kami untuk terus menulis, tidak
ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau mundur, lalu berhenti berkarya. Saya
banyak belajar dari teman-teman. Meskipun mungkin apa yang saya lakukan belum
ada apa-apanya dibandingkan penulis-penulis hebat. Namun, kecemburuan terhadap
mereka membuat saya terus berjuang dan berkarya melalui tulisan-tulisan di blog
maupun di media hingga sekarang. Saya percaya, tidak ada proses yang sia-sia.
Saya bahagia, sangat bersyukur atas apa yang telah diberikan
Yang Maha Pengasih, namun belum puas. Seperti yang dikatakan Salim A. Fillah
bahwa terjebak pada kepuasan adalah perangkap gawat yang hanya akan menghapus
gairah untuk meloncat lebih tinggi. Maka manusia tidak boleh berpuas, tapi wajib bersyukur.
*Esai ini disubmit pada pendaftaran beasiswa LPDP 2016
Komentar