Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
“What does a poet bring
to the table in the world, we are facing his skillset was the definition of
useless.” Itulah yang dikatakan oleh dosen
filsafat yang diperankan oleh James D’Arcy pada film After The Dark atau biasa dikenal The Philosopher. Film yang disutradarai oleh John Huddles ini
berkisah tentang kegiatan pembelajaran filsafat di suatu sekolah internasional
di Jakarta. Filsafat diajarkan oleh sang dosen dengan cara menantang
mahasiswanya untuk melakukan percobaan pemikiran tentang bagaimana seharusnya
mempertahankan peradaban manusia.
![]() |
(Karikatur oleh tempo) |
Diumpamakan
sebuah bencana besar akan terjadi yang mengakibatkan meninggalnya manusia
karena radiasi. Namun terdapat sebuah bangker yang dapat melindungi manusia
dari dampak radiasi. Namun bangker tersebut hanya dapat menampung 10 orang
selama setahun.
Dua
puluh mahasiswa diwajibkan ikut dalam percobaan tersebut, termasuk sang dosen
dengan cara memilih sebuah kertas yang berisi daftar jenis pekerjaan mereka.
Hanya 10 orang yang dapat bertahan hidup dalam bangker, sedangkan 11 lainnya
harus ikhlas menerima kematian. Mereka sendiri memilih secara voting siapa dari
teman mereka yang harus dipertahankan dan masuk ke dalam bangker, dengan
mempertimbangkan seberapa penting dan dibutuhkannya jenis pekerjaan mereka di
masa depan.
Percobaan
pemikiran dilakukan beberapa kali di lokasi berbeda. Dua kali berturut-turut
seorang mahasiswa yang bekerja sebagai penyair ”ditembak” oleh sang dosen.
Alasannya, penyair adalah orang paling
tidak dibutuhkan di masa depan. Tanpa penyair manusia bisa tetap hidup. Setelah
penyair, yang juga bernasib serupa adalah pemain harpa, penata busana, penyanyi
opera, dan 6 lainnya ditembak. Semuanya dianggap tidak penting dalam peradaban
manusia.
Kisah lain dalam film Dead Poets Society juga mengingatkan
kita tentang bagaimana pandangan orang-orang terhadap penyair. Film ini
bercerita tentang kehidupan murid dan guru di sebuah sekolah khusus laki-laki
di Amerika tahun 1989. Sang guru menginspirasi dan mengajak murid-muridnya
untuk tertarik kepada puisi.
Neil Perry salah satu dari tujuh murid
laki-laki yang begitu senang belajar puisi dan drama. Ia memutuskan belajar
drama meski penuh dengan tekanan orang tuanya yang memaksa untuk belajar
kedokteran. Pada akhir cerita, Neil bunuh diri karena trauma setelah penampilan
drama pertamanya gagal menyenangkan orang tuanya.
Penyair
atau sastrawan sering kali dianggap remeh. Misalnya orang tua yang tidak
merestui anaknya menjadi penyair karena beranggapan bahwa itu adalah pekerjaan
yang tidak mendatangkan banyak uang. Masih teringat dengan ucapan salah seorang
dosen saya yang mengatakan, “Saya tahu jika Anda jadi ahli sastra, mungkin Anda
akan susah cari kerja”. Tetapi ia kemudian menambahkan bahwa yang paling
penting adalah kemampuan membaca sastra karena sangat sedikit orang yang bisa
melakukannya.
Ada
pula Michael H. Hart,
penulis buku 100 Orang Paling Berpengaruh
di Dunia, yang diterbitkan tahun 1978 dan menempatkan Shakespeare pada
posisi ke-36. “Saya menempatkan Shakespeare begitu rendah bukan lantaran saya
tidak menghargai daya hasil seninya, tetapi semata-mata karena saya yakin bahwa
pada umumnya kesusasteraan atau tokoh-tokoh seniman tidaklah punya pengaruh
besar dalam sejarah.” Itulah alasan Micheal soal pemeringkatan Shakespeare.
Michael mungkin lupa dengan seorang perempuan yang menulis buku Uncle Tom’s Cabin yang memicu terjadinya
perang saudara di Amerika.
Banyak
yang tidak suka dengan penyair, tapi banyak pula yang berlomba-lomba ingin
menjadi penyair – orang yang menciptakan baris-baris syair yang indah. Kata-kata
dalam syair memang mampu meluluhkan hati seseorang.
Dikisahkan
dalam cerita Yunani kuno tentang para Siren dan Orpheus. Siren adalah makhluk
bersayap, tinggal di sebuah pulau, suka membuai para pelaut dengan nyanyian
sehingga secara tidak sadar mereka akan menabrak pulau. Sedangkan Orpheus
adalah seorang penyair dan pemain musik lagendaris yang mampu mempesona semua
makhluk dengan musik liranya, yang bahkan mengalahkan para Siren.
Suatu
ketika Orpheus ikut dalam petualangan Argonauts. Dalam perjalanan, mereka
dihalangi oleh para Siren. Namun dengan liranya, Orpheus mampu membuat nyanyian
yang lebih merdu daripada nyanyian para Siren. Ia pun berhasil mengalahkan dan
mengusir para Siren.
Penyair yang andal memang mampu
menggugah dan membuat pendengarnya terkagum-kagum. Seperti yang diungkapkan
Soren Kierkegaard, “...And people flock
around the poet and say: Sing again soon” Penyair adalah
seorang pria yang kurang bahagia,
menyembunyikan kesedihan mendalam
di hatinya. Tetapi ketika berbicara kedengarannya seperti musik
yang indah. Dan orang-orang berduyun-duyun di sekitarnya dan berkata, “Nyanyikan lagi segera.”
Bagaimanapun
cara orang-orang di sekitar saya memandang seorang penyair, saya tetap yakin
bahwa penyair memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan orang lain. Penyair
mengobati hati yang luka.
*Dimuat pada
kolom Literasi Koran Tempo Makassar, 20 Desember 2014
Komentar