Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Pojok koleksi majalah dan koran dalam
perpustakaan pusat
kampus selalu menjadi pilihan
pertama tempat berlabuh bagi saya ketika bingung mau kemana. Maklum, mahasiswa
semester akhir yang tidak lagi punya kuliah dan seringkali dirundung kemalasan mengurusi
skripsi. Hanya satu dua orang di sana, tenang,
meskipun tidak sesejuk pojok-pojok asing yang seolah-olah diratukan.
Membolak-balik
koran, membaca yang menarik meski tidak sampai selesai. Ah, saya paling malas
dengan kolom politik yang “busuk” itu. Membaca kadang membuat iri sebenarnya,
membuat gereget ingin menulis seperti mereka dan ini itu.
Kolom
Kompas Kampus salah satunya, yang memuat liputan-liputan kampus dan argumentasi
mahasiswa.
Telah
berkali-kali saya mengikuti tantangan mengirim Argumentasi. Dimulai Januari
2014, Maret 2014-dua kali dan selalu gagal. Kowdong!
Alhasil, kemarin (17 Februari 2015) dimuat juga. Alhamdulillah, luar biasa senang.
Setelah ditolak berkali-kali tanpa ada konfirmasi.
Argumentasi
itu saya kirim empat hari sebelum terbit. Hanya 1.300 karakter namun memerlukan
dua jam untuk menyelesaikannya. Ditambah revisi sebelum dikirim. Memang harus
dikoreksi matang-matang karena kita dituntut memadatkan kata. Singkat, jelas,
dan berkesan atau beda.
Tulisan
asli, sebelum diedit oleh redaktur Kompas Kampus, Tia.
Menegur Lewat Tindakan
Peraturan dibuat untuk dipatuhi. Namun ada pula yang
berpikiran sebaliknya, peraturan dibuat untuk dilanggar. Segelintir orang bahkan
merasa bangga jika berhasil melanggar aturan. Alasan lain karena sudah tahu
aturan tapi menganggap “biasanya tidak apa-apa” jika dilanggar. Kenyamanan
orang lain pun tidak dipikirkan. Itulah sifat pemberontak yang ada dalam diri
setiap manusia yang tidak semua orang mampu mengendalikannya.
Ketika seseorang melanggar aturan kadang membuat geram,
apalagi jika dilakukan di depan mata kita di tempat umum. Dalam kendaraan umum,
misalnya, seseorang membuang sampah sembarangan. Sebagai kalangan terdidik,
sudah menjadi kewajiban kita untuk menegur. Namun kebanyakan orang Indonesia
belum memiliki cukup keberanian untuk menegur secara lisan. Terlebih, jika
orang tersebut lebih tua dari pada kita.
Namun ada cara lain yang bisa dilakukan tanpa perlu takut
terjadi adu mulut untuk membuat mereka sadar yaitu lewat tindakan. Misalnya,
ketika melihat seseorang membuang sampah sembarangan. Sambil memberi senyum, kita
langsung saja memungut benda tersebut lalu menyimpannya dalam saku atau
tempat sampah. Kemungkinan besar akan muncul perasaan malu pada orang tersebut.
Dan kemungkinan lain ia tidak akan mengulangi perbuatan seperti itu lagi.
![]() |
(Tulisan yang sudah diedit) |
Meski
di Argumentasi tiga kali gagal, tapi di liputan kampus ada dua tulisan saya yang
di-published: Kegiatan Bakti sosial dan
KKN. Fee-nya cukup besar bagi seorang
mahasiswa seperti saya. Satu liputan lagi ditolak.
Mungkin
karena pengalaman yang berpengaruh. Ketika mengurus himpunan PERISAI, saya suka
merapikan dan membaca koran kompas yang kadang dibiarkan berantakan dalam sekretariat.
Setidaknya PERISAI mengajarkan itu.
Komentar