Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Selepas seminar proposal untuk
tugas akhir atau lebih sering disebut skripsi. Saya merasa tidak punya kegiatan
apa-apa maka jadilah sehari-hari saya dipenuhi dengan membaca.
Pertama membaca Al-Qur’an
tentunya. Komunitas One Day One Juz
(ODOJ) yang telah saya ikuti hampir setahun memang mewajibkan bagi setiap
anggota untuk menyelesaikan 1 juz. Hikmah tidak usah ditanya, ada banyak. Allah
memang mencintai orang2 yang selalu membaca Alquran (Hadits)
Januari disambut hujan,
butir-butir air membasahi bumi. Musim yang baik untuk menikmati baris-baris
tulisan pada buku, sesekali memandang hujan. Setidaknya lebih baik dari pada
menghabiskan banyak waktu hanya untuk tidur seharian. “Assalamuaikum Beijing”
membuka Januari. Novel islami karya Asma Nadia ini sebenarnya saya miliki sejak
April tahun lalu, sebelum difilmkan. Dan beberapa teman telah meminjam dan
membacanya. While, saya baru
membacanya ketika kisah novel ini telah tayang di bioskop dan orang-orang lagi
ramai membicarakannya. Maklum saja mahasiswa seperti saya harus berpikir
berkali-kali teman mengajak nonton. Hahaha… Membaca lebih memiliki sensasi tersendiri,
membutuhkan imaginasi lebih dan tentu lebih detail.

Apa yang membuatnya menarik
untuk dibaca? Karena teknik bercerita penulis yang beda, kita seolah-olah
berada pada dua situasi yang berbeda pada awal cerita karena nama Ra dan Asma
yang ternyata adalah orang yang sama. Kedua, karena settingnya di Beijing sehingga
pembaca juga mendapat banyak informasi baru tentang Beijing, China. Ketiga,
semakin mendekati ending semakin bikin gregetan untuk dibaca.
Dalam tiga hari saya bisa
menyelesaikan cerita setebal 336 halaman itu. Mungkin saking tidak adanya
kegiatan saat itu.

Tokoh utama, Are bertemu dengan
Ruth pada sebuah pantai di Bali. Are yang hobi memotret dan Ruth yang senang
melukis menjalin hubungan seperti orang pada umumnya. Namun lagi-lagi ada orang
ketiga seperti halnya pada “Assalamualaikum Beijing,” tapi di sini orang ketiga
adalah laki-laki yang pernah berpacaran dengan Ruth, tanpa ada kata putus.
Lagi-lagi konfliknya tentang cinta. Bahkan orang tua Ruth telah merestui hubungannya
dengan lelaki yang bernama Abimanyu hingga ke jenjang pernikahan.
Endingnya keren, membuat shocked. Ternyata Are sebagai tokoh
utama yang juga sebagai pencerita meninggal. Sedangkan Ruth yang lari dari
acara penikahannya dengan Abimanyu menunggu kedatangan Are pada dek kapal feri
sebuah pantai. Ia akan selalu menunggu bersama senja.

Saya sedikit pusing karena
tokoh dalam novel yang begitu banyak, juga menggunakan berbagai setying tempat
dan klan-klan di Jepang. Sepertinya novel ini memang berisi kritik sosial pada masa kediktatoran pemimpin Jepang. Alhasil saya dibuat kecewa karena endingya sangat
gantung. Karena ini seri pertama dan saya tidak memiliki seri keduanya. Ya,
buku ini hadiah dari salah satu penerbit.
Memasuki Februari, kampus mulai
makin ramai. Dan saya mulai geram dengan hujan yang mengurungku di asrama.
Iseng-iseng ke perpustakaan dan bertemu dengan teman-teman Caterpillar yang
mulai sibuk mengurusi skripsi. Kesempatan untuk meminjam buku.
Novel terbitan Balai Pustaka,
“Lajar Terkembang” karya St. Takdir Alisjahbana berhasil dipinjam dengan kartu
perpus Akram sebagai jaminan. Pembaca seperti dibawa kembali ke masa silam,
tahun 1930an yang tidak pernah saya alami. Bahasanya masih tempoe doeloe dan
diksinya terkesan sangat lebay.

Saya kadang tertawa sendiri membacanya.
Banyak
yang beranggapan bahwa buku-buku terbitan balai pustaka memang diterbitkan
untuk membuai dan membuat terlena pemuda Indonesia saat itu, sehingga ia
teralihkan dari perjuangan dan nasionalisme membela Indonesia di tengah jaman kolonial Belanda. Dan tergambar jelas pada kisah
percintaan Tuti, Maria, dan Yusuf pada novel terkenal karya Takdir Alisjahbana
ini (lagi-lagi tentang cinta). Buku ini pro-modernism dan
kolonialisme Belanda, menurutku.
Mari membaca. “A book is a dream that you hold in your hand,” -Neil Gaiman.
Komentar