Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
(Arsip pribadi) |
Sebagai mahasiswa Sastra Inggris, terkadang saya
merasa tinggi hati, bahkan membusungkan dada ketika seorang dosen bertanya
kepada kami, mahasiswanya tentang sastrawan-sastrawan Inggris dan karyanya. Dan
saya satu-satunya mahasiswa yang mengangkat tangan kemudian menjawabnya dengan
benar.
Di lain sisi, pernah suatu hari ketika masih di
semester tiga, saya mengikuti suatu seminar kepenulisan fiksi yang juga
dihadiri oleh mahasiswa dari universitas lain. Saya tercengang ketika salah
seorang pemateri dengan bangganya menyebutkan karya-karya sastrawan Indonesia
yang terkenal bahkan telah mendunia, sedang saya merasa asing dengan beberapa
nama tersebut.
Apakah saya salah telah memilih jurusan Sastra
Inggris dan semestinya saya masuk jurusan Sastra Indonesia? Atau adakah yang
salah dari cara belajar saya sehingga saya tidak mengenal sastrawan Indonesia?
Atau mungkin karena seseorang telah menyebabkan saya lebih mencintai milik bangsa
lain dari pada bangsa Indonesia sendiri?
Saya pikir, seandainya ada mata pelajaran
kesusastraan Indonesia di masa SMP atau SMA dulu, mungkin saya bisa mengenal
banyak sastrawan Indonesia dan mencintai karya-karya mereka. Bukan pelajaran
bahasa Indonesia yang banyak menjelaskan tentang S, P, O, K dan lain-lainnya
yang sebenarnya dijelaskan berulang-ulang dari tingkat SD.
Itu baru berbicara tentang sastra, bagaimana jika
suatu hari seseorang menanyakan hal-hal
lain tentang Indonesia? Apa makanan khas Kalimantan Timur, Kalimantan Barat? Apa
nama rumah adat Sumatera Selatan? Dan sebagainya. Mungkin otak kita akan dibuat
kalang kabut memikirkannya.
Sebenarnya hal yang wajar jika kita tidak tahu
semua tentang Indonesia karena negara kita memang sangat luas terbentang dari
Sabang hingga Marauke dengan banyak provinsi dan berbagai kebudayaan di
dalamnya. Tapi tidak kah kita tertarik untuk mengetahuinya, mempertanyakannya?
Dan seberapa seringkah kita membicarakan Indonesia dengan teman-teman kita
dibandingkan membicarakan drama Korea, artis K-Pop, penyanyi Bollywood dan lain sebagainya? Bukankah jika kita
membicarakan Indonesia akan memberikan pengetahuan baru tentang bangsa ini, tak
masalah sekecil apa pun itu.
Menurut hemat saya, proses menyebarnya budaya asing
di Indonesia bersumber dari suatu pertanyaan. Misalnya ketika seseorang ditanya
oleh temannya tentang siapa nama pemain drama korea “Boys Before Flower” yang
paling tampan. Maka akan ada dua kemungkinan reaksi yang akan dilakukan oleh
orang tersebut jika ia tidak mengetahui jawabanya, menanyakan ke teman lainnya
atau menonton drama tersebut untuk mencari tahu sendiri. Setelah mendapat
jawaban ia pun akan mendiskusikan dengan temannya sehingga memancing orang lain
untuk ikut bergabung di kelompok mereka. Dan mau tak mau, orang yang ingin bergabung
di kelompok tersebut juga harus tahu tentang drama korea agar bisa diterima
dalam kelompok.
Pada dasarnya kita memang harus banyak bertanya
untuk tahu, baik kepada teman atau pun “Om google”. Namun demikian, bertanya
kepada sesama manusia merupakan hal terbaik karena ketika orang yang ditanya
tidak mengetahui jawabannya, maka ia pun akan berusaha menemukan jawaban. Akan
timbul rasa malu dalam diri seseorang ketika tidak mengetahui jawaban atas
pertanyaan yang diterimanya, apalagi jika pertanyaan itu hanyalah pertanyaan
remeh-temeh yang berhubungan dengan budayanya sendirinya dan telah ditanyakan
berkali-kali secara berulang-ulang.
Banyak mempertanyakan Indonesia kepada orang yang
kita temui, maka banyak pula jawaban atau usaha untuk mencari jawaban,
mengetahui Indonesia. Paling tidak tanyakan masakan Padang pada orang Padang,
keraton pada orang Jogjakarta, Lontara pada orang Sulawesi. Malu dong kalau
kita tak mengetahui budaya sendiri.
Orang Indonesia sebenarnya memiliki kemauan tinggi
untuk mempelajari sesuatu, saking semangatnya, belum selesai satu tugasnya malah
pindah ke hal lain. Budaya sendiri belum dikenal kok malah ikut-ikutan mempelajari budaya orang lain.
Komentar