Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Suatu hari Dusun Sabang, Desa Bonto Bahari,
Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros terlihat begitu ramai. Sekelompok mahasiswa
dari Perhimpunan Mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Sastra, Universitas
Hasanuddin baru saja tiba dari Kota Makassar, setelah menempuh jarak sekitar 40
kilometer atau selama satu jam lebih.
Jauh dari hiruk pikuk kota, suasana begitu berbeda dengan
yang biasa kami lewati sehari-hari. Embusan angin laut yang melewati
celah-celah tanaman bakau terasa begitu sejuk meski matahari berada tepat di
atas kepala kami. Di daerah pesisir inilah, kami menggelar kegiatan bakti
sosial dengan tema “Satu Langkah Kecil dengan Kepedulian Besar.”
“Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk kepedulian
kami terhadap masyarakat, juga inilah salah satu bentuk pengabdian kepada
masyarakat yang merupakan salah satu dari tridarma perguruan tinggi,” kata
Darmayanti, yang merupakan penanggung jawab dari kegiatan tersebut.
Kegiatan bakti sosial adalah salah satu program
kerja Perhimpunan Mahasiswa Sastra Inggris (PERISAI) Unhas, yang kami persiapkan
jauh hari sebelumnya.
Setelah briefing
di rumah kepala desa setempat dan beribadah, panitia bakti sosial segera melaksanakan
kegiatan sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan sebelumnya kepada setiap
orang.
Ada tiga tim yang dibentuk sesuai dengan tugas
masing-masing. Ada tim yang bertugas memasang marka jalan, ada yang
membersihkan masjid, juga ada yang bertindak sebagai tenaga pengajar.
Tetap semangat
Terik matahari yang menyengat tidak mengurangi
semangat tim pemasang marka jalan. Warga setempat pun ikut membantu sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas lebih cepat dari yang diperkirakan.
Marka jalan dianggap penting di desa ini karena
memiliki potensi wisata, namun kurang dikenal oleh masyarakat umum. Salah
satunya, ada dermaga Dusun Sabang yang menghadap ke barat sehingga pengunjung
dapat menikmati panorama matahari terbenam.
Di sisi lain, tim kebersihan masjid sedikit
kewalahan karena saat itu kondisi masjid yang masih dalam proses renovasi. Jadi
kami lebih memfokuskan kebersihan di ruang dalam masjid.
Desa yang populasi seluruhnya beragama islam
penduduknya adalah muslim ini memiliki masjid yang sederhana, tetapi indah
karena berdiri di tengah-tengah tambak masyarakat.
Setelah kepala desa memberi pengumuman di masjid,
satu per satu para siswa berdatangan. Mereka membawa peralatan tulis. Bahkan
beberapa ibu-ibu yang mengantar anak mereka juga ikut duduk mendengarkan.
Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai
dengan umur dan tingkatan pendidikan masing-masing. Setiap kelompok terdiri
dari empat hingga delapan orang yang dibimbing oleh satu atau dua orang. Siswa
tingkat sekolah dasar merupakan peserta terbanyak, sedangkan siswa SMP berjumlah
belasan dan SMA hanya empat orang.
Mereka belajar bahasa Inggris dasar lengkap dengan aneka
permainan yang memudahkan untuk cepat memahami. Meski belajar Bahasa Inggris
relative sulit, mereka menyukainya.
Masyarakat Desa Bonto Bahari yang sehari-hari
bercakap dalam bahasa Makassar mayoritas memahami bahasa Indonesia. Akan tetapi
mereka tidak mengerti cara menggunakannya dalam percakapan.
Begitu pula dengan kalangan pelajar, terutama siswa SD.
Alhasil para pengajar menggunakan tiga bahasa untuk membantu mereka.
Sekitar pukul 15.00 Wita, kegiatan belajar-mengajar
berakhir dan kami pun berkumpul di rumah kepala desa untuk beristirahat.
Belajar menari
Kegiatan kembali dilanjutkan sore hari. Seusai
belajar bahasa Inggris, anak-anak perempuan belajar menari. Kami mengajarkan beberapa
tarian daerah, misalnya tari padduppa, tari toraja dan tari kipas guna mendekatkan
budaya lokal kepada mereka. Sementara bagi anak laki-laki diajarkan beberapa
gerakan olahraga bela diri karate.
Bermodal parang milik warga setempat, kami kemudian
memangkas ilalang setinggi sekitar 1,5 meter yang menutupi pemakaman.
Ketika senja membayang di ufuk barat, panitia
berbenah untuk pulang. Kami semua menyalami kepala desa dan warga yang
berkumpul. Kami bahagia bisa melakukan sesuatu untuk warga setempat.
Terbit di kolom Kompas Kampus-Kompas
Edisi Selasa, 1 Januari 2014
Komentar