Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Mencoba menggerakkan tangan sendiri :) |
“Bulan Janda”,
begitu disebutkan oleh salah seorang di kampungku. Manusia bugis dengan berani
mengatakannya. Berharap itu bukan doa, hanya suatu istilah lain untuk menyebut
bulan Januari.
Ada banyak cerita yang bisa dikisahkan sepanjang
januari. Tentang angin, air, udara, dan tanah, atau tentang seekor semut yang
meninggal tertindas truk. Namun kekuatan perut manusia lebih kuat dari pada ingatan.
Januari, bulan berlimpah buah. Saya masih ingat dua
minggu awal januari saya habiskan di kampung. Januari menyuguhkan berbagai
macam buah baik yang didapatkan di kebun maupun di pohon buah samping rumah
yang dimanfaatkan sebagai pohon pelindung. Buah mangga yang beragam, muda
maupun yang masak, buah nanas, kelapa muda, rambutan, durian, dan buah lainnya.
Januari menjadi berkah bagi pecinta buah, juga bagi mereka yang senang diet.
Ah, siapa yang peduli itu. Bagi masyarakat
metropolitan semua saja. Buah segar yang dibungkus plastik dan pengawet harus
dibeli di supermarket.
Peralihan tahun merupakaan waktu yang kurang
menguntungkan bagi pelaut, terlebih bagi Indonesia yang merupakan negara rawan
karena ombak tinggi disertai angin kencang. Dan mencapai puncaknya pada
januari. Mungkin ini lah mengapa “mereka” menyebutnya “bulan janda”, karena
pada bulan januari tak jarang kapal tenggelam. Lelaki bugis terkenal sebagai
perantau yang pemberani. Pada bulan januari banyak perantau yang pulang melepas
rindu ke kampung halaman, atau sebaliknya pemuda bugis berangkat merantau, demi
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun mengumpulkan uang menikah. Sebelum
berangkat ia telah berjanji pada seorang gadis untuk kembali menikahinya
setalah ia berhasil mengumpulkan banyak uang di rantau.
Januari sungguh menyisahkan luka bagi mereka yang
terbuka kelopak mata hatinya. Banjir terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Sulawesi, Jawa, dan Sumatera. Banjir Bandang yang tiba-tiba menyapu kota Manado
dan sekitarnya (ets, menurutku bukan tiba-tiba, karena manusia sendiri telah
merencanakannya dengan strategi penebangan liar). Kerugian materi menurutku
tidak seberapa di banding kerja keras sebatang pohon untuk melindungi atmosfer
bumi. Manusia.
Dua mata |
Di Jakarta, berbagai usaha telah dilakukan untuk
mengurangi banjir yang terjadi setiap tahunnya. Namun kenyataannya sama saja,
atau bahkan banjir tahun ini lebih besar dibanding tahun lalu. Kita tak bisa
tak menghargai usaha pemerintah karena memang semua sudah diatur Sang Penguasa
semesta. Juga diatur oleh masyarakat kelas atas dengan cara terus melakukan
pembangunan perumahan elit dan gedung-gedung tinggi demi nilai uang yang
menjanjikan yang telah dikalkulasi oleh si invisible
hand. Dari mana mereka mendapatkan tanah untuk menimbun rawa-rawa demi
menciptakan pondasi yang kuat kalau bukan dari tanah gunung yang terus dikeruk.
Belum lagi kisah Sinabung yang terus menyemburkan
amarahnya dalam wujud abu panas. Ini bencana alam, tak ada yang dapat
menampiknya, tak ada yang bisa disalahkan. Ini takdir. Tapi tidak kah tanah,
air, udara, dan makhluk saling berhubungan, bukan hanya di Indonesia , tapi di belahan
dunia manapun. Bisa jadi ini adalah hukuman untuk manusia, bukan untuk
masyarakat di sekitar Sinabung, tapi untuk semua manusia.
Perlu milyaran tahun bagi bumi untuk melahirkan
keseimbangan atmosfer dengan bantuan tumbuhan hijau yang mampu memanfaatkan
energi matahari, mengisi atmosfer dengan oksigen demi paru-paru manusia. Tapi
manusia hanya perlu bilangan tahun untuk mencakar langit dengan
gedung-gedungnya.
Komentar
Oh iya, kamu jahat, harusnya kamu pulang bawa rambutan dan langsat :(
Balik lagi ke soppeng ambil buah, sana.. :p
Waduh, rambutan itu pemberian tetangga Kak :p
Eh, sudah dapat info?. besok jam setengah 10 di lt.4 rektorat ada sosialisasi exchange student Jepan khusus mahasiswa Sospol dan Sastra