Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Malam selalu datang bersama sunyi, hanya
bunyi-bunyian serangga kecil yang hidup di pepohonan sekitar rumah warga, juga
di balik batu-batu kecil halaman rumah. Suara kendaraan yang melaju cepat,
seolah-olah jalan hanya milik mereka, pemilik kendaraan bermesin. Warga kampung
entah pada kemana. Aku juga bersembunyi.
*Mungkin yang ku lakukan adalah ragu, atau
mungkin mendekati kesalahan. Meninggalkan depan televisi yang telah menjadi
ruang keluarga sejak barang “penipu” itu hadir di rumah ini beberapa tahun
lalu. Dan mungkin ruang makan akan sedikit iri karena di sana lah dulu tempat
curhat kami bersama keluarga, tempat Adik mengaduh tentang teman-teman
lelakinya yang mulai mengusiknya, tempat Ayah bercerita tentang saman Gerilya,
dan sebagainya.
Di atas sofa merah meluntur berkapasitas tiga
orang yang tidak seempuk dulu lagi, aku duduk menghadap kiblat kemudian mulai
mengetik di atas meja. Bersembunyi tepat di bawah cahaya lampu yang dikerumuni
serangga kecil, entah apa namanya, karena aku tak mau tulisanku dilihat siapa
pun. Tapi aku akan mengisahkan apa pun karena itu lah salah satu tujuan pulang
ke tempat ini, mencari inspirasi yang bisa mengetarkan hati menggerakkan pena.
Hanya bermodalkan niat, meski tanpa pisau dan
gunting, Aku berusaha membedah diri sendiri, membuka hal yang mengganjal di
hati sejak lama. Sejujurnya, aku juga bingung, Kenapa aku baru mencari tentang suatu
hal saat ia mulai lenyap dimakan teknologi. Aku merindukan bercengkrama bersama
tetangga saat kebanyakan dari mereka tengah asyik tertawa di depan televisi,
terbuai oleh tontonan yang mengajarkan umat manusia tentang hedonisme.
*Aku masih ingat ketika masih SD, para orang
tua laki-laki, termasuk bapakku sangat suka ngopi di rumah tetangga bersama
tiga atau empat orang tua lainnya. Tentu mereka tidak membicarakan bisnis yang
lagi trend saat itu sambil online di depan laptop, mereka hanya sekedar
berbicara tentang tanaman coklat yang makin digemari ulat, atau tanaman jagung
yang dipanen babi.
Sedang para pemuda memilih menempati pos
ronda sebagai tempat berkumpul, mereka hanya sekedar bercerita mengenai
gadis-gadis desa. Meski tak jarang minuman botol beralkohol di dekat mereka dan
siap mereka sembunyikan di kolong pos ronda jika salah seorang orang tua
tiba-tiba saja datang.
*Kemarin kuputuskan untuk menyegerakan diri
pulang ke kampung halaman, sejenak ku tinggalkan rutinitas dan pekerjaan yang
sebenarnya belum sepenuhnya tuntas. Biarlah. Aku belum begitu rindu sebenarnya,
tapi aku juga tidak boleh egois karena disini ada orang-orang yang lebih
merindu. Kampung halaman merindukan jejak
kakimu lebih dari kau menginginkannya.
Meski kehidupan sosial banyak berubah, tapi
masih banyak hal yang membuatku tetap betah di sini, yang membuatnya tak
tertandingi oleh tanah manapun. Ada cinta yang tak terkalahkan. Dan rindu yang
tak kan diiris sembilu.
Mungkin aku akan sedikit mengaduh kepada
komplotan serangga yang masih tersesat di bawah cahaya. Siapa yang mengatakan
tanah yang keren itu hanya di Malang, di jalan menuju puncak Mahameru seperti
di film 5cm. Siapa yang mengatakan kalau sungai-sungai yang mulai itu hanya di
Jawa, Bali, dan Sumatera seperti di FTV-FTV layar kaca. Dan Siapa bilang bukit-bukit
yang indah itu hanya di Minangkabau, tempat Zainuddin dan Hayati mengisahkan
cinta?
Tidak. Tempat kelahiranku tidak kalah indah
dan beradat dari yang kau lihat di film-film. Sungainya yang dihiasi batu-batu
besar menjernihkan airnya, tidak ada sampah yang rela mengotorinya. Dan
sawah-sawah yang membentang seakan tak ada ujungnya. Ingatkah kau provinsi apa
dengan lumbung padi terbesar saat ini?
Tapi sayang, kami hanya melihatnya dengan
mata dan kepala. Sedang kau mampu melihatnya dengan mata, kepala, serta
kamera-kamera canggih, dengan resolusi berteknologi tinggi, yang membuatnya
terlihat sangat indah di layar kaca bioskop. Itu lah kekuatanmu. Aku kalah. Tapi tak mengalah.
Tanjonge,
Desa Baringeng, Soppeng, 1 Januari 2014
Komentar